JAKARTA, iNews.id - Lidah api berkobar di seantero Jakarta ketika kerusuhan 1998 terjadi. Kala itu masyarakat resah dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok di Indonesia.
Situasi keamanan tak terkendali. Kerusuhan, penjarahan, serta pemerkosaan terjadi. Banyak toko tutup, situasi Indonesia, khususnya Jakarta kalang kabut. Suara-suara nyaring terdengar untuk menurunkan Presiden Soeharto dari jabatannya.
Puncak kerusuhan tersebut terjadi ketika Soeharto menuju Kairo, Mesir untuk menghadiri pertemuan G-15 pada 13-14 Mei 1998. Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sutiyoso mengatakan setidaknya 4.939 rumah hangus dibakar, sebanyak 1.119 mobil dibakar, 66 angkutan umum hangus terbakar, jumlah sepeda motor yang dibakar massa 821, dan amukan massa juga membakar 1.026 rumah warga. Total kerusakan fisik bangunan ditaksir mencapai Rp2,5 triliun.
Melihat semakin meluasnya kerusuhan yang terjadi, akhirnya Presiden kedua Indonesia mengumumkan pengunduran dirinya tanggal 21 Mei 1998 dan sesuai dengan Undang Undang yang berlaku, posisi Presiden jatuh pada wakilnya yakni B.J Habibie.
“... Oleh karena itu dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah mendengar sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998...”