Kerusuhan disertai pengunduran diri Soeharto dipicu oleh menurunnya nilai tukar mata uang Thailand, baht terhadapt dolar Amerika tanggal 2 Juli 1997. Puncaknya, 56 dari 58 lembaga ekonomi di Negeri Gajah Putih harus tutup pada 8 Desember 1997.
Krisis di Thailand terjadi pula di Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Korea Selatan yang memiliki struktur ekonomi serupa. Pada bulan Juli 1997, nilai tukar rupiah terhadap dolar awalnya Rp2.432 merosot menjadi Rp3.000.
Sedikitnya kepercayaan para pebisnis terhadap pemerintah yang dibaregi dengan penarikan modal asing, membuat perekonomian Indonesia ambruk secara perlahan. Satu persatu perusahaan gulung tikar dan pengangguran merajalela.
Menurut laporan tahunan Bank Indonesia (BI) tahun 1998, tingkat pengangguran tahun 1997 tercatat sebesar 4,3 juta jiwa. Namun pada 1998 meningkat menjadi 5,1 jiwa atau 5,5 persen dari jumlah angkatan tenaga kerja. Persentase tersebut belum termasuk jumlah pengangguran tidak penuh sebesar 8,6 juta jiwa.
Walaupun perekonomian Indonesia sedang carut marut saat itu, tapi tingkat pengangguran relatif rendah. Para pekerja yang diputus hubungan kerjanya pada perusahaan di sektor formal beralih melakukan usaha di sektor informal demi mempertahankan kelangsungan hidup.