Ketiga kelompok tersebut yakni perokok dengan masa konsumsi rokok minimal satu tahun, pengguna vape eksklusif (bukan konsumen dualisme vape dan rokok) yang telah menggunakan vape atau beralih ke vape dengan kandungan nikotin selama minimal satu tahun, dan non-pengguna produk tembakau apa pun.
Sebelum penelitian dimulai, seluruh responden melalui proses pembersihan plak secara menyeluruh terlebih dahulu. Kemudian, para responden diminta untuk menggunakan stent akrilik di bagian rahang bawah selama 21 hari masa penelitian.
"Hal ini bertujuan agar bagian tersebut tidak ikut tersikat pada saat responden menyikat gigi dan akumulasi bakteri bisa terjadi," katanya.
Di akhir masa eksperimen, para responden non-perokok dan bukan pengguna vape mengalami reaksi berupa peradangan pada gusi yang tidak disikat selama 21 hari.
Hal tersebut, menurut Amaliya merupakan bentuk pertahanan tubuh normal. Sementara itu, para responden yang merokok tidak mengalami peradangan walaupun terdapat kuman yang menempel pada gigi berupa plak.
"Jadi, ada semacam topeng yang mengelabui tubuh kita. Seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Ini yang berbahaya," katanya.
Sementara itu, pada kelompok yang menggunakan atau telah beralih secara eksklusif sehingga hanya menggunakan vape dengan kandungan nikotin, reaksi peradangan terjadi sama seperti pada responden yang tidak mengonsumsi rokok maupun vape. Oleh karena itu, menurut Amaliya, pernyataan yang menyebutkan nikotin merupakan penyebab peradangan pada gusi tidak terbukti.
"Berarti, ada sesuatu hal lain dalam rokok, selain nikotin, yang menyebabkan peradangan itu tidak terlihat. Tidak tahu apa, tapi ternyata bukan nikotin," ujarnya.
Dia menambahkan, hal ini sejalan dengan penelitian institusi medis di Inggris, UK Royal College of Physicians, yang membuktikan, nikotin bukan penyebab risiko penyakit akibat kebiasaan merokok, melainkan kandungan lain yang berbahaya dari asap rokok akibat pembakaran. Berbeda dengan rokok, produk HPTL tidak dibakar sehingga zat berbahaya yang terbentuk jauh berkurang.
Penelitian ini membuktikan produk HPTL, memiliki profil risiko lebih rendah daripada rokok. Amaliya pun berharap akan banyak riset dari dalam negeri mengenai produk HPTL ini. “Memang masih sangat terbatas ya di Indonesia tentang penelitian produk tembakau alternatif ini,” ujarnya.