JAKARTA, iNews.id - Sebuah pernikahan sejatinya dilakukan oleh dua orang yang sudah sama-sama matang secara fisik, emosi, dan mental. Namun, apa jadinya jika pernikahan terjadi pada seorang yang matang dengan anak atau pernikahan antar anak yang kerap terjadi di Indonesia.
Meminjam istilah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia (PPPAI) Yohana Yambise, ujung dari pernikahan anak ini adalah "anak yang memiliki anak." Kondisi ini, tentunya bukan peristiwa langka di Indonesia, terutama daerah-daerah yang kurang terpapar informasi dan edukasi terkait pernikahan anak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, ada 25,71 persen kasus pernikahan anak di Indonesia. Angka ini meningkat dari 2013, di mana ada 23 persen kasus pernikahan anak. Bahkan dengan angka ini, Indonesia dinobatkan sebagai negara nomor tujuh di dunia dengan tingginya kasus pernikahan anak.
Menteri PPPAI Yohana Yambise mengatakan, banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan pada anak, terutama di Indonesia. Di antaranya saja, faktor ekonomi keluarga, edukasi atau pendidikan hingga faktor-faktor, seperti tradisi dan budaya di daerah-daerah tertentu.
Lalu, bagaimana dengan dampak? Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Lenny N. Rosalin memaparkan, banyak dampak tersembunyi di balik pernikahan anak.