Dalam hadits yang masyhur dijelaskan bahwa siapa orang yang menghidupkan malam Lailatul Qodar ia akan mendapatkan kemualian malam tersebut, yaitu diampuninya seluruh dosanya yang telah lampau. Dan ibadahnya malam itu dinilai sebagai ibadah selama 1.000 bulan, yang tepatnya 83 tahun lebih.
Imam al-Syirbiniy dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj (2/189) mengutip pernyataan Imam AS-Sayfi’i dalam Qoul Qodim (pernyataan lama)-nya yang menyatakan bahwa keutamaan malam Lailatul Qodr itu bisa diraih bagi siapa yang hanya mengerjakan sholat Isya’ dan subuh secara bejamaah, sesuai hadits Ustman bin Affan diatas.
Kemudian beliau mengutip sebuah riwayat yang marfu’ dari Abu Hurairoh sebagai penguat statement sang Imam, disebutkan bahwa:
مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ الْأَخِيرَةَ فِي جَمَاعَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَقَدْ أَدْرَكَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ
“barang siapa yang sholat isya’ terakhir secara berjamaah, maka ia telah mendapatkan (keutamaan) malam Lailatul Qodr.”
Pernyataan yang sama juga dikutip oleh Imam al-Ramliy dalam kitabnya Nihayah al-Muhtaj (3/215).
Imam Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ (6/451) mengatakan bahwa pernyataan Imam Syafi’I tersebut ialah Qoul Qodim-nya, akan tetapi tidak ada nash (teks) Imam syafi’I dalam Qoul Jadid (pernyataan baru) yang menyelisih atau menggubah pernyataan lamanya. Jadi inilah pendapat madzhab.
هذا نصه في القديم ولا يعرف له في الجديد نص يخالفه وقد قدمنا في مقدمة الشرح ان ما نص عليه في القديم ولم يتعرض له في الجديد بما يخالفه ولا بما يوافقه فهو مذهبه بلا خلاف
“ini adalah pendapat beliau dalam qaul-qadim (lama), dan tidak diketahui adanya qaul-jadid (baru) yang menyelisih. Dan sebagaimana yang telah kami singgung di awal, bahwa apa yang ditetapkan oleh Imam Syafi’i dalam qaul-qadim-nya dan tidak ada qaul-jadid yang menyelisih dan tidak juga yang menyepakati, maka itulah pendapat madzhab. Dan tidak ada yang menyelisih ini.”