Pendapat pertama adalah pendapat mazhab Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i, yang demikian teruntuk bagi mereka yang kuat untuk berpuasa. Alasannya adalah bahwa Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hidupnya ketika melakukan perjalanan lebih banyak berpuasa ketimbang berbuka, dan Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan melakukan sesuatu kecuai yang utama untuk dilakukan.
Pendapat kedua, di mana berbuka lebih utama adalah pendapat dari Imam Ahmad, Al-Auza’i, Ishaq dan lainnya, karena keringanan (rukhsah) yang diberikn oleh Allah SWT itu lebih utama untuk diambil ketimbang diabaikan. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إن الله يحب أن تؤتى رخصة كما يكره أن تؤتى معصيته
“Sesungguhnya Allah menyukai dilaksanakan rukhshah (keringanan)-Nya, sebagaimana Dia membenci dilaksanakan maksiat kepada-Nya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/108; shahih].
Imam Muslim dalama riwatnya menyebutkan bahwa dulunya ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan beliau melihat segerombolan orang yang berkumpul mengerumuni seseorang yag sepertinya dalam kelelahan, lalu tiba-tiba Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menanyakan perihalnya, dan mereka menjawab bahwa dia yang mereka kerumuni itu dalam keadaan berpuasa, lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ليس من البر أن تصوموا في السفر
“Tidak ada kebaikan berpuasa ketika safar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1115].