JAKARTA, iNews.id - Mungkin banyak yang belum tahu bagaimana hukum menikahi wanita yang pernah kita zinahi. Di dalam ajaran Islam, zina merupakan perbuatan terlarang dan tergolong dosa besar.
Hukum zina dalam bentuk apapun di dalam Islam adalah haram. Al Quran dengan jelas memperingatkan orang mukmin untuk menghindari perbuatan terlarang itu sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Isra ayat 32 yang bunyinya:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
Latin: Walaa Taqrabu zinaa innahuu kaana faahisyatan wasaaaa a sabiila.
Artinya: "Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32).
Zina tak hanya buruk dalam pandangan ajaran agama. Secara sosial budaya, zina juga dipandang buruk di dalam kehidupan bermasyarakat.
Salah satu jenis zina adalah Zina Ghairu Muhsan, yakni perbuatan terlarang antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah. Pasangan yang belum menikah memang sangat rawan dengan godaan dan hawa nafsu yang tinggi.
Hukum cambuk 100 kali adalah bagi pezina yang belum menikah (ghairu Muhshan), dan rajam bagi pezina Muhshon (yang sudah menikah).
Hukuman bagi orang yang berbuat zina itu sudah dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya surat An-Nur ayat 2 sebagai berikut:
اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍۙ وَّلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۚ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَاۤىِٕفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
Latin: Azzaaniyatu wa zaanii fajliduu kulla waahidin minhuma miatan jaldah walaa ta hudzkum bihimaa ra fatun fii diinillaahi in kuntum tu minuuna billahi wal yaumil aakhiri walyash had 'adzaaba humaa thaaaifatun minal mu'miniin. (QS. An Nur ayat 2)
Artinya: “ Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nur: 2).
Lantas bagaimana jika kedua sejoli yang berzina lalu menikah di kemudian hari? Apakah hubungan mereka sah atau tidak sah alias haram? Dilansir iNews.id dari laman resmi NU , Jumat (30/4/2022), berikut ini adalah penjelasannya.
Persoalan dari pertanyaan diatas terjawab dalam kitab Al-Majmû’ Syarh Al-Muhadzdzab. Hukum menikahi pasangan yang pernah dizinahi adalah tidak haram. Disebutkan bahwa Imam Nawawi menuturkan sebagai berikut:
وإن زنى بامرأة لم يحرم عليه نكاحها لقوله تعالى (وأحل لكم ما وراء ذلكم) وَرَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عن رجل زنى بامرأة فأراد أن يتزوجها أو ابنتها، فقال لا يحرم الحرام الحلال إنما يحرم ما كان بنكاح ولا تحرم بالزنا أمها ولا ابنتها ولا تحرم هي على ابنه ولا على أبيه للآية والخبر
Artinya: “Bila seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan maka tidak haram baginya menikahi perempuan yang dizinai itu, berdasarkan firman Allah “dihalalkan bagi kalian apa-apa yang selain itu semua”. Sayidatina Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan. Laki-laki itu ingin menikahi sang perempuan atau anak perempuannya. Maka Rasulullah bersabda “apa yang haram tidak menjadikan apa yang halal menjadi haram. Yang diharamkan hanyalah apa-apa yang terjadi karena nikah dan tidak haram karena zina menikahi ibu dan anak perempuan dari perempuan yang berzina. Juga perempuan yang berzina itu tidak haram dinikahi bagi anak laki-laki dan bapaknya laki-laki yang menzinai, berdasarkan ayat dan hadits.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmȗ’ Syarh Al-Muhadzdzab, [Kairo: Darul Hadis, 2010], juz XVI, h. 485).
Lebih lanjut kitab Al-Majmû' Syarh Al-Muhadzdzab juga menjelaskan:
إذا زنى الرجل بامرأة لم يثبت بهذا الزنا تحريم المصاهرة فلا يحرم على الزاني نكاح المرأة التي زنى بها ولا أمها ولا ابنتها ولا تحرم الزانية على أبى الزاني ولا على أبنائه
Artinya: “Apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan maka dengan perzinaan ini tidak menetapkan hukum keharaman menikah karena hubungan mushaharah. Maka tidak diharamkan bagi laki-laki yang berzina menikahi perempuan yang dizinai, ibunya, dan anak perempuannya. Tidak haram pula perempuan yang berzina dinikahi oleh bapak dan anak-anak laki-lakinya orang yang menzinahinya”.
Dikutip dari laman Hidayatullah, jika wanita yang dizinai hamil di luar nikah, Madzhab Asy-Syafi’I dan Abu Hanifah serta Muhammad al-Hasan memperbolehkan lelaki yang menjadi pelaku zina tersebut menikah dengannya dan menggaulinya.
Namun jika yang menikahi wanita yang hamil karena perzinaan itu adalah laki-laki lain, maka dalam hal ini dia hanya boleh menikahinya dan tidak boleh menggaulinya, ini menurut pandangan Abu Hanifah dan Muhammad al-Hasan.