JAKARTA, iNews.id- Amalan yang dicintai Allah merupakan tindakan yang dilakukan dengan niat ikhlas dan berdasarkan petunjuk dalam ajaran agama Islam.
Dalam upaya mendekatkan diri kepada-Nya, banyak individu yang berusaha melaksanakan amalan-amalan yang diiringi dengan niat yang tulus dan dilandaskan pada ajaran agama Islam.
Dalam pandangan agama, amalan yang dicintai Allah tidak hanya menjadi ibadah, tetapi juga menjadi cara untuk meningkatkan hubungan spiritual dengan Sang Pencipta.
Melansir laman Muslim, Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan, Abul Walid Hisyam bin Abdul Malik menuturkan kepada kami. Dia berkata, Syu’bah menuturkan kepada kami. Dia berkata, Al-Walid bin Al-‘Aizar mengabarkan kepadaku. Dia berkata, aku mendengar Abu ‘Amr Asy-Syaibani. Dia berkata, pemilik rumah ini (beliau mengisyaratkan kepada rumah Abdullah bin Mas’ud) menuturkan kepada kami.
Dia (Ibnu Mas’ud) berkata, aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Amal apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Salat tepat pada waktunya.” Dia (Ibnu Mas’ud) berkata, “Lalu apa?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Kemudian berbakti kepada kedua orang tua.” Dia (Ibnu Mas’ud) berkata, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah.”
Dia (Ibnu Mas’ud) berkata, “Beliau menuturkan hal itu semuanya kepadaku. Seandainya aku menambah pertanyaan, niscaya beliau pun akan menjawabnya.” (lihat Shahih Al-Bukhari bersama Fath Al-Bari, 2: 12 tahqiq Syaibatul Hamd)
Syekh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili hafizhahullah menambahkan keterangan dari kesimpulan beliau terhadap kajian Imam Ibnu Rajab rahimahullah seputar amal yang paling utama.
Beliau berkata, “Sesungguhnya amal yang paling utama adalah apa-apa yang diwajibkan Allah kepada segenap hamba-Nya. Sementara iman kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan amal yang paling utama secara mutlak.” (lihat Tajrid Al-Ittiba’, hal. 20)
Kemudian beliau mengatakan, “Adapun jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadis Ibnu Mas’ud bahwa amalan yang paling utama adalah salat tepat pada waktunya. Hal itu disebabkan salat adalah amal anggota badan yang paling utama.
Sementara dalam kesempatan lainnya, terkadang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut iman kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai amal yang paling utama. Hal itu karena (iman) merupakan amal hati yang paling utama.” (lihat Tajrid Al-Ittiba’, hal. 20)
Kemudian, Syekh Ibrahim pun menukil kesimpulan yang diambil oleh Imam Ibnu Rajab. Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Dengan penetapan hasil pengkajian ini teranglah bahwasanya hadis-hadis itu menunjukkan bahwa amal yang paling utama ialah dua kalimat syahadat bersama dengan konsekuensi-konsekuensinya, yaitu rukun-rukun Islam setelahnya, atau salat bersama dengan ikutan-ikutannya/penyempurna atasnya (juga) yang merupakan perkara yang sifatnya fardu ‘ain dan termasuk penunaian atas hak-hak Allah ‘Azza Wajalla.
Kemudian yang paling utama setelah itu adalah perkara yang sifatnya wajib ‘ain dari hak-hak sesama hamba, semisal berbakti kepada kedua orang tua. Kemudian setelah itu adalah amal-amal sunah yang semakin mendekatkan diri kepada Allah, dan yang paling utama di antara itu (amal-amal sunah) adalah jihad.” (lihat Tajrid Al-Ittiba’, hal. 21)
Syekh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili hafizhahullah juga menambahkan kesimpulan bahwa amal-amal yang paling utama setelah amal-amal wajib ada tiga, yaitu menuntut ilmu (yang sifatnya sunah), jihad, dan zikir. Secara berurutan (berdasarkan penelitian para ulama) disimpulkan bahwa amal sunah yang paling utama adalah ilmu, setelah itu jihad, kemudian zikir. (silahkan baca lebih lengkap dalam Tajrid Al-Ittiba’, hal. 25-31)
Selain amalan-amalan yang telah disebutkan di atas, keistiqomahan atau kontinuitas dalam ibadah juga perlu ditekankan.
Imam Bukhari rahimahullah menuturkan:
Muhammad bin Salam menuturkan kepada kami. Dia berkata, ‘Abdah mengabarkan kepada kami dari Hisyam, dari ayahnya, dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata,
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila memerintahkan mereka (orang-orang), maka beliau perintahkan mereka sebatas amal-amal yang mampu mereka kerjakan.
Lantas orang-orang itu berkata, “Sesungguhnya keadaan kami tidak seperti keadaan Anda, wahai Rasulullah. Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa Anda yang telah berlalu maupun yang akan datang.”
Mendengar hal itu, beliau pun marah hingga tampak kemarahan itu pada rona wajahnya. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling bertakwa dan paling berilmu tentang Allah di antara kalian adalah aku.” (lihat Sahih Al-Bukhari bersama Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamdi, 1: 89)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mereka (para ulama) mengatakan, bahwa makna hadis ini adalah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam apabila memerintahkan suatu amalan kepada mereka, maka yang beliau perintahkan adalah apa-apa yang mudah untuk mereka kerjakan, bukan amal-amal yang memberatkan.
Hal itu karena Rasulullah khawatir mereka tidak bisa terus-menerus/ kontinyu dalam melakukannya. Beliau sendiri mengerjakan amal serupa dengan apa yang beliau perintahkan kepada mereka, yang padanya terkandung keringanan.” (lihat Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamdi, 1: 90)
Hadis di atas memberikan beberapa pelajaran berharga. Pertama, amal-amal saleh memiliki potensi untuk meningkatkan kedudukan seseorang dan menghapus dosa-dosa. Ini mengajarkan pentingnya melakukan amal kebajikan dengan sungguh-sungguh.
Kedua, hadis ini mendorong kita untuk meraih tujuan ibadah dan merasakan manfaatnya. Dengan merasakan manfaat tersebut, kita akan semakin termotivasi untuk terus melanjutkan amal kebaikan.
Ketiga, penting bagi kita untuk mengikuti syariat dan mengambil jalan yang sesuai dengan ketentuan agama. Lebih baik mengikuti syariat dengan baik daripada melanggar aturan yang dapat merugikan diri sendiri.
Keempat, hadis ini mengajarkan pentingnya kesederhanaan dan konsistensi dalam beramal. Sikap berlebihan tidak dianjurkan, karena dapat mengarah pada kelelahan atau meninggalkan amal ibadah secara keseluruhan.