Kaidah yang disebutkan itu sendiri dipakai oleh Az-Zuhaili dalam konteks haid. Namun, menurutnya, itu masih bisa dipertimbangkan untuk digunakan juga dalam konteks P2GP.
Ditinjau dari aspek regulasi, Menteri Agama periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin membeberkan terdapat Fatwa MUI No. 9A tahun 2008 yang mendukung praktik P2GP. Di dalamnya, dinyatakan bahwa khitan perempuan sebagai pemuliaan bagi perempuan. Bahkan dinyatakan secara eksplisit, baik khitan laki-laki maupun perempuan adalah fitrah, aturan, dan syiar Islam.
Fatwa MUI yang disebutkan juga menunjukkan keragaman pendapat para ulama dalam memandang P2GP. Karena itu, menurut Lukman Hakim Saifuddin, perlu dijelaskan masing-masing konteks yang melatarbelakangi perbedaan pendapat tersebut.
“Jadi, kontekstualisasi dari masing-masing pendapat keagamaan terkait dengan sunat perempuan itu perlu dijelaskan. Karena hukum itu berubah-ubah sesuai konteksnya,” ujarnya.
Problem di lapangan tidak lebih baik. Sebagaimana dikisahkan oleh Atashendartini Habsjah dari Yayasan Kesehatan Perempuan, bidan sebagai tenaga medis sering mendapat pengusiran oleh warga ketika menolak untuk melakukan tindakan P2GP.
“Yang di atas, para elit bilang melarang. Tapi apa yang terjadi di bawah? Bidan diusir dari desa kalau tidak menyunatkan,” ucapnya.