Hal ini disebabkan haditsnya dinilai lemah. Ia juga mengutip fatwa Dewan Fatwa Mesir dan hasil Muktamar Ulama Dunia tahun 2006 yang melarang praktik tersebut berdasarkan pertimbangan medis.
Dari perspektif lain, Maria Ulfah Anshor, penulis buku Fikih Aborsi, menyampaikan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa praktik khitan perempuan ini dilakukan atas anjuran tokoh agama melalui pengajian yang didapatkannya. Pun orang yang tidak melakukan praktik tersebut juga terdorong melalui pengajian tokoh agama.
“Jadi, bagi mereka yang menolak maupun yang menjalankan, argumentasinya adalah (tokoh) agama,” beber ulama kelahiran Indramayu ini.
Dosen Pascasarjana Universitas Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur"an (PTIQ) Nur Rofiah menegaskan pentingnya menyadari perbedaan sunat perempuan dan sunat laki-laki. Sebab, banyak perbedaan mendasar di antara keduanya. Misalnya, secara anatomi dan fungsi reproduksi. Secara sosial, sunat perempuan diyakini secara berbeda dengan sunat laki-laki.
Mengingat begitu banyaknya perbedaan yang masih sering diabaikan, ia menekankan pentingnya menyajikan perbedaan sunat perempuan dan sunat laki-laki secara komprehensif sebagai salah satu strategi dalam upaya menghentikan praktik ini.
“Strategi yang harus dibangun adalah memberikan perbedaan secara komprehensif dari A sampai Z, tidak hanya secara biologis tetapi juga secara sosial. Termasuk dalil-dalilnya,” tekannya.
Dia juga menekankan pentingnya mengajarkan materi P2GP kepada para mahasiswa kedokteran. Namun, materi yang diajarkan bukan terkait prosedur, melainkan bahayanya. Sehingga dokter dan bidan itu lulus dengan pengetahuan bahwa P2GP itu berbahaya.
Berbeda dari lainnya, Ustadz Ibnu Kharish mengutip kaidah dari Syekh Wahbah az-Zuhaili, bahwa ketika ada pendapat fikih bertentangan dengan pendapat medis, maka yang didahulukan adalah pendapat ahli medis.