وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ فِعْلَ ذَلِكَ صَاحِبُ اِرْبِل الَملِكُ الْمُظَفَّر أَبُوْ سَعِيْد كُوْكْبَرِي بِنْ زَيِنِ الدِّيْنِ عَلِي اِبْنِ بَكْتَكينْ أَحَدُ الْمُلُوْكِ الْأَمْجَادِ وَالكُبَرَاءِ الْأَجْوَادِ وَكَانَ لَهُ آثَارٌ حَسَنَةٌ، وَهُوَ الَّذِي عَمَّرَ الجَامِعَ الْمُظَفَّرِي بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ
Artinya: Orang yang pertama kali mengadakan seremonial itu (maulid nabi) adalah penguasa Irbil, yaitu Raja Mudhaffar Abu Said Kuukuburi bin Zainuddin Ali ibn Buktitin, salah seorang raja yang mulia, agung, dan dermawan. Dia juga memiliki rekam jejak yang bagus. Dan, dia lah yang meneruskan pembangunan Masjid al-Mudhaffar di kaki gunung Qasiyun.
Dari sanalah, peringatan Maulid Nabi dengan pembacaan syi’ir dan karya sastra banyak dilakukan di negara-negara mayoritas muslim.
Tradisi ini akhirnya masuk ke Indonesia dengan dibawa oleh Wali Songo dan terus diamalkan di banyak pondok pesantren.
Namun sebelum itu, terdapat sosok yang bernama Khaizuran (170 H/786 M), ibu dari Amirul Mukminin Musa al-Hadi dan al-Rasyid yang juga mempelopori adanya perayaan Maulid Nabi.