JAKARTA, iNews.id - Bagaimana tata cara fidyah orang yang sudah meninggal dunia? Lantas seperti apa hukumnya? Pertanyaan tersebut sering muncul di kalangan orang Muslim ketika puasa Ramadhan tiba.
Fidyah secara bahasa adalah tebusan. Menurut istilah syariat adalah denda yang wajib ditunaikan karena meninggalkan kewajiban atau melakukan larangan. Syekh Ahmad bin Muhammad Abu al-Hasan al-Mahamili mengklasifikasi fidyah menjadi tiga bagian. Pertama, fidyah senilai satu mud. Kedua, fidyah senilai dua mud. Ketiga, fidyah dengan menyembelih dam (binatang) (Syekh Ahmad bin Muhammad Abu al-Hasan al-Mahamili, al-Lubab, hal. 186).
1. Orang tua atau orang yang sakit sehingga tidak mampu melakukan puasa Ramadhan.
Diriwayatkan dari Ata ia telah mendengar Ibnu Abbas membaca yang artinya, "Dan wajib atas orang yang dapat melakukan puasa dengan susah payah, mengeluarkan fidyah berupa bahan makanan untuk orang miskin," Ibnu Abbas berkata, tidak dimansukh fidyah itu untuk orang tua renta laki-laki dan wanita yang tidak kuat lagi berpuasa keduanya memberi makan tiap hari seorang miskin. (HR Al Bukhari)
2. Wanita hamil atau menyusui yang tidak berpuasa untuk kesehatan anaknya. Maka ia harus mengganti puasanya dan memberikan fidyah juga.
Dalam sebuah riwayat disebutkan juga dari Ikramah bahwa Ibnu Abbas berkata, "Ditetapkan fidyah untuk wanita hamil dan wanita yang menyusui." (HR. Abu Dawud)
3. Orang meninggal yang memiliki utang atas puasa Ramadhannya dengan uzur, padahal sudah ada waktu untuk menggantinya.
4. Orang meninggal yang memiliki utang puasa tanpa uzur. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang meninggal, padahal atasnya ada kewajiban puasa Ramadhan, hendaklah diberi makan seorang miskin olehnya sebagai pengganti tiap harinya." (HR At Tirmidzi)
Ulama bersepakat bahwa utang puasa orang yang sudah meninggal dunia pun harus diqadha atau dibayar. Tetapi ulama berbeda pendapat perihal tata cara mengganti atau qadha utang puasa orang yang telah meninggal dunia.
Dilansir dari NU Online, sebagian ulama mengatakan bahwa utang puasa orang yang telah meninggal dunia dapat dibayar dengan fidyah atau sedekah makanan pokok sebanyak satu mud atau bobot seberat 675 gram/6,75 ons beras.
ولو كان عليه قضاء شئ من رمضان فلم يصم حتي مات نظرت فان أخره لعذر اتصل بالموت لم يجب عليه شئ لانه فرض لم يتمكن من فعله إلي الموت فسقط حكمه كالحج وإن زال العذر وتمكن فلم يصمه حتى مات أطعم عنه لكل مسكين مد من طعام عن كل يوم
Artinya: Seandainya seseorang memiliki utang puasa dan ia belum sempat membayarnya sampai wafat, maka kau harus menimbang terlebih dahulu. Jika ia menundanya karena uzur yang terus menerus hingga wafat, maka ia tidak berkewajiban apapun karena puasa itu kewajiban yang tidak mungkin dikerjakannya hingga wafat sehingga status kewajibannya gugur seperti ibadah haji. Tetapi jika uzurnya hilang dan ia memiliki kesempatan untuk membayar utang puasanya, lalu ia tidak berpuasa, maka utang puasanya dibayar dengan satu mud makanan pokok untuk setiap harinya (Abu Ishaq As-Syairazi, Al-Muhadzdzab pada Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Kairo: Al-Maktabah At-Taufiqiyah, 2010, juz VI, halaman 337).
Sementara ulama lain berpendapat bahwa utang puasa orang yang telah meninggal dunia dapat dibayar dengan melaksanakan puasa oleh wali atau ahli waris almarhum. Utang puasa itu dibayar dengan pelaksanaan puasa oleh keluarganya yang masih hidup.
Mereka berpendapat bahwa hutang puasa seseorang yang telah meninggal dapat dibayarkan dengan puasa oleh ahli warisnya atau orang yang dikuasakan oleh ahli warisnya yang masih hidup. Pendapat tersebut didasarkan pada hadits riwayat Aisyah ra, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: Siapa saja yang wafat dan ia memiliki hutang puasa, maka walinya memuasakannya (HR Bukhari dan Muslim).
Sebagian ulama yang menyatakan diperbolehkannya mengganti puasa oleh walinya yang masih hidup menyamakan ibadah puasa Ramadhan dan ibadah haji. Puasa atau haji adalah ibadah yang wajib dibayarkan kafarah ketika pelaksanaannya tercederai sehingga boleh diqadhakan sepeninggal yang bersangkutan wafat.
Imam An-Nawawi mengatakan bahwa pendapat yang dipilih oleh mazhab Syafi’i adalah pendapat pertama, yaitu pembayaran fidyah sebanyak satu mud makanan pokok untuk mengatasi utang puasa orang yang telah meninggal dunia.
والمنصوص في الام هو الاول وهو الصحيح والدليل عليه ماروى ابن عمر أن النبي صلي الله عليه وسلم قال " من مات وعليه صيام فليطعم عنه مكان كل يوم مسكين " ولانه عبادة لا تدخلها النيابة في حال الحياة فلا تدخلها النيابة بعد الموت كالصلاة
Artinya: Pendapat manshus dalam kitab Al-Umm adalah pendapat pertama. Ini pendapat yang shahih. Dalil atas pendapat ini adalah hadits riwayat Ibnu Umar ra Rasulullah saw bersabda: Siapa saja yang wafat dan ia mempunyai utang puasa, hendaklah orang miskin diberi makan pada setiap hari hutang puasanya. Puasa adalah ibadah yang tidak dapat digantikan pada saat orang hidup, maka ia tidak digantikan setelah matinya seperti ibadah shalat.