Tidak ada hadits yang sahih yang secara khusus menyebutkan Rabu terakhir di bulan Safar sebagai hari nahas, kecuali hadits dlaif yang menyebutkan bahwa setiap Rabu terakhir di setiap bulan adalah hari sial. Namun, hadits dlaif ini tidak dapat dijadikan dasar keyakinan.
Tidak ada anjuran khusus dari syariat mengenai ibadah tertentu pada hari tersebut. Meskipun ada anjuran dari beberapa ulama tasawuf, landasannya belum bisa dianggap sebagai hujjah syar’i.
Shalat khusus seperti yang disebutkan hanya boleh dilakukan dalam konteks shalat hajat untuk menolak bala yang ditakutkan atau sebagai shalat sunah mutlak, sebagaimana diizinkan oleh syariat, dengan tujuan agar manusia bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah.
KH Miftachul Akhyar, Rais Aam PBNU, menegaskan bahwa hadits tentang kesialan pada Rabu terakhir setiap bulan harus dipahami secara kontekstual.
"Kesialan itu berlaku bagi mereka yang mempercayainya. Namun, bagi orang yang beriman, mereka meyakini bahwa setiap waktu, hari, bulan, dan tahun memiliki manfaat dan mudaratnya sendiri. Hari tertentu bisa membawa kebaikan bagi seseorang, namun bisa juga membawa kesialan bagi orang lain,” kata KH Miftachul Akhyar.
Oleh karena itu, hadits tersebut tidak seharusnya dijadikan pedoman bahwa setiap Rabu terakhir di bulan Safar adalah hari yang harus dihindari, karena pada hari itu, ada yang mengalami keberuntungan, dan ada pula yang tidak. Manusia harus tetap berusaha dan percaya bahwa semuanya adalah anugerah dari Allah.
Demikianlah penjelasan mengenai Tradisi Rebo Wekasan. Semoga bermanfaat.