Namun, proses pengurusan dokumen tersebut tidak berjalan mulus. Atalarik menyebut ada dokumen krusial berupa surat pelepasan hak yang hilang, sehingga menimbulkan keraguan atas status kepemilikan tanah tersebut.
Dia juga mengaku membangun rumah dan pagar di atas tanah itu sejak 2003 dengan keyakinan bahwa tanah tersebut adalah miliknya.
Kasus sengketa ini telah bergulir di berbagai tingkat pengadilan sejak 2015. Pada 18 Agustus 2016, Pengadilan Negeri Cibinong memutuskan bahwa Dede Tasno adalah pemilik sah tanah tersebut.
Atalarik kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung, namun putusan tersebut diperkuat pada 5 Juni 2017. Selanjutnya, Mahkamah Agung juga menguatkan keputusan tersebut pada 13 Desember 2018.
Tidak puas dengan putusan tersebut, Atalarik mengajukan Peninjauan Kembali (PK) yang terakhir ditolak pada Mei 2024. Dengan putusan inkracht ini, eksekusi lahan pun dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri Cibinong pada 15 Mei 2025, yang berujung pada pembongkaran rumah milik Atalarik oleh aparat kepolisian.
Atalarik mengungkapkan rasa ketidakadilan dan keterpaksaan atas tindakan eksekusi yang dilakukan tanpa pemberitahuan resmi terlebih dahulu.
Dalam unggahan video di akun Instagram pribadinya, ia menyatakan bahwa dirinya merasa dizalimi, padahal proses hukum masih berjalan dan belum inkracht secara final. Ia juga menegaskan bahwa dirinya bukan penipu atau pelaku kejahatan, melainkan hanya warga biasa yang berusaha mempertahankan haknya.