WASHINGTON, iNews.id - Ancaman Amerika Serikat (AS) untuk menjatuhkan sanksi terhadap Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) bulan lalu menuai gelombang kecaman dari komunitas global. Sebanyak 125 negara anggota ICC menyatakan penolakan keras, menilai langkah Washington sebagai serangan langsung terhadap tatanan hukum internasional.
Sanksi yang sedang dipertimbangkan AS bukan lagi menyasar individu, melainkan institusi ICC secara keseluruhan. Jika diterapkan, dampaknya bisa melumpuhkan operasional harian pengadilan yang berbasis di Den Haag, Belanda, mulai dari pembayaran gaji staf, akses perbankan, hingga lisensi perangkat lunak.
Seorang diplomat senior menyebut langkah ini sebagai “eskalasi paling parah” yang pernah dilakukan negara terhadap lembaga peradilan internasional.
“Jalan sanksi individual telah habis. Sekarang lebih banyak pertanyaan tentang kapan, ketimbang apakah, mereka akan melakukan langkah berikutnya,” katanya.
Pemicu: Kasus Gaza dan Netanyahu
Ketegangan ini berawal setelah ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant tahun lalu. Keduanya dituduh melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Jalur Gaza.
AS menolak yurisdiksi ICC atas kasus tersebut, sama halnya dengan Israel yang bukan merupakan anggota Statuta Roma. Namun, ICC berpegang pada keanggotaannya terhadap Palestina sebagai dasar legal untuk mengadili dugaan kejahatan di wilayah Gaza.
Dukungan Global untuk ICC
Sebagai respons, ICC mengadakan pertemuan darurat dengan diplomat negara-negara anggota guna menilai potensi dampak sanksi AS. Banyak negara juga berencana mengangkat isu ini dalam Sidang Majelis Umum PBB yang sedang berlangsung di New York.
Negara-negara anggota menilai langkah AS berbahaya bagi independensi lembaga peradilan internasional. Bagi mereka, ICC adalah instrumen penting untuk menegakkan keadilan atas genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan di seluruh dunia.