Sebelum diambil alih oleh Taliban, kata Mittal, Tentara Nasional Afghanistan memanfaatkan dukungan kontraktor untuk keahlian teknis mereka dan; saluran pasokan Amerika untuk pengadaan peralatan dan suku cadang. Pascapenarikan pasukan NATO, banyak dari kontraktor tersebut memilih untuk pergi juga. Akibatnya banyak kendaraan yang bakal rusak karena kurangnya perawatan.
Masalah pemeliharaan itu semakin diperumit dengan kebutuhan akan alat-alat dan suku cadang. Karena banyak dari kendaraan tempur itu milik Amerika, kecil kemungkinan Taliban akan memiliki akses ke barang-barang suku cadangnya. Bahkan dengan akses ke saluran pasokan, barang-barang tersebut lebih cenderung berakhir di pasar gelap daripada di ruang perawatan.
“Ini adalah masalah umum yang dihadapi oleh Tentara Nasional Afghanistan dan dapat juga menjadi masalah bagi Taliban. Mengingat tantangan pemeliharaan ini, kecil kemungkinan Taliban akan mampu menjaga kendaraan ini tetap beroperasi,” kata Mittal.
Di luar itu semua, muncul pula keluhan tentang banyaknya uang yang terbuang untuk semua alutsista tersebut. Beberapa analis menyebut biaya yang telah dikeluarkan Amerika untuk semua alutsista itu selama 20 tahun ini mencapai 85 miliar dolar AS (Rp1.212,34 triliun). Jika dikalkulasi ulang, harganya sekarang diperkirakan menyusut menjadi 18 miliar dolar AS (Rp Rp256,73 triliun).
Sederhananya, kata Mittal, parade kendaraan militer yang digelar Taliban beberapa waktu lalu tak lebih dari propaganda semata. Pasalnya, alat-alat itu tidak memiliki fungsionalitas penuh layaknya yang digunakan militer modern; tidak begitu berguna untuk operasi mereka saat ini, dan; akan pada akhirnya terbengkalai begitu saja tanpa perawatan yang tepat.