Merespons hasil investigasi ini, Telegram dalam sebuah pernyataan kepada Daily Mail mengatakan, konten yang mendorong kekerasan seksual secara tegas dilarang oleh ketentuan layanan Telegram. Telegram memiliki kebijakan tanpa toleransi terhadap penyalahgunaan platformnya dan semua grup, saluran, atau pengguna yang tertangkap berpartisipasi akan segera dihapus dari platform.
"Moderator yang diberdayakan dengan AI dan alat pembelajaran mesin secara proaktif memantau bagian publik platform dan menerima laporan dari pengguna dan organisasi untuk menghapus jutaan konten berbahaya setiap hari."
Telegram juga menyatakan, pihak berwenang atau organisasi yang mengetahui adanya grup berbahaya didorong untuk melaporkannya melalui Digital Services Act (DSA) di UE atau mengirim email ke hotline terkait agar segera ditindaklanjuti. "Selain itu, perintah pengadilan yang sah dapat digunakan untuk mendapatkan alamat IP dan nomor telepon pelanggar," demikian pernyataan Telegram.
Meskipun perusahaan tersebut bersikeras memiliki kebijakan tanpa toleransi terhadap penyalahgunaan dan menyatakan mereka memblokir pengguna yang melanggar, fakta menunjukkan hal yang sebaliknya. Aplikasi Telegram yang didirikan oleh miliarder Rusia Pavel Durov pada tahun 2013, banyak dikritik karena menolak untuk membagikan data pengguna dengan lembaga pemerintah sehingga membuatnya terkenal sebagai surga bagi aktivitas terlarang.
Telegram beroperasi di bawah bayang-bayang layanan pesan terenkripsi sehingga menyulitkan deteksi dan intervensi oleh pihak berwenang dalam kasus-kasus seperti ini. Akibatnya, komunitas-komunitas yang mempromosikan dan memfasilitasi kekerasan seksual tetap bermunculan.