TEL AVIV, iNews.id - Pemerintah Israel terpecah terkait perang di Jalur Gaza, Palestina. Menteri Pertahanan (Menhan) Yoav Gallant menuntut strategi perang dan pasca-perang yang jelas kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Israel mengerahkan kembali pasukannya ke kamp Jabalia, Gaza Utara, sejak sepekan terakhir. Kembalinya pasukan ke Jabalia memecah konsentrasi pasukan Zionis yang sedang fokus melakukan operasi darat di Rafah, Gaza Selatan.
Israel sebelumnya mengklaim telah menguasai wilayah itu sejak beberapa bulan lalu, namun ternyata para pejuang Gaza masih memberikan perlawanan sengit.
Serangan ke kamp Jabalia seperti jebakan dari para pejuang Gaza, menyebabkan banyak tentara Israel yang menjadi korban. Berbeda dengan serangan darat pertama beberapa bulan lalu, kini pasukan Israel masuk lebih ke dalam ke blok-blok gedung tempat tinggal. Personel dan tank-tank Israel hanya menjadi sasaran empuk tembakan para pejuang.
Selain itu Menhan Gallant juga tak setuju dengan usulan Netanyahu yang akan membentuk pemerintahan militer di Gaza.
Perpecahan tajam juga terjadi antara dua mantan jenderal militer berhaluan tengah di kabinet yang juga pendukung gagasan Gallant, Benny Gantz dan Gadi Eisenkot. Mereka berseberangan pandangan dengan politisi dari beberapa partai sayap kanan nasionalis yang dipimpin Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Dalam Negeri Itamar Ben Gvir.
“Bukan begini caranya untuk melancarkan perang,” demikian judul tajuk utama tabloid Israel Today disertai ilustrasi gambar Netanyahu dan Gallant menghadap ke arah berbeda.
Netanyahu sejauh ini belum mengungkap strategi yang jelas mengenai pembebasan sandera di Gaza dan sampai kapan perang berlangsung. Diperkirakan ada sekitar 130 sandera Israel di Gaza yang ditahan sejak 7 Oktober lalu. Hal yang jelas pembicaraan mengenai pembebasan sandera terhenti karena Israel memilih melanjutkan perang.
Netanyahu sejauh ini tetap berpegang pada janjinya untuk memenangkan perang dengan melenyapkan Hamas. Tujuan itu diragukan akan keberhasilannya, bahkan oleh sekutu terdekatnya, Amerika Serikat.
Setelah melenyapkan Hamas, Netanyahu ingin Gaza dijalankan oleh pemerintahan sipil Palestina, namun tanggung jawab keamanan tetap berada di tangan militer Israel.
Langkah itu diragukan akan berhasil. Pasalnya, tak ada satu pun faksi di Palestina, bahkan warganya, ingin Hamas dikesampingkan dari politik. Sebagai gambaran, sebagian besar warga Gaza merupakan para loyalis Hamas. Popularitas Hamas juga naik di Tepi Barat sejak perang.
Selain itu para pemimpin faksi di pemerintahan Otoritas Palestina yang kini berkuasa di Tepi Barat belum tentu mau mengisi posisi pemerintahan di Gaza.