Para kru lalu menyuruh mereka turun dari dek setelah mereka terkena paparan abu panas. Lillani dan ayahnya, yang memiliki kemampuan melakukan pertolongan pertama, membantu dua dokter yang dibawa untuk melayani para turis.
Lillani mengaku belum pernah melihat luka seperti itu. Kulit para korban terbakar, tak ada seinci pun yang luput dari paparan, sekalipun di balik pakaian.
Wajah mereka diselimuti abu, termasuk mata sehingga mereka tidak bisa melihat. Lidah mereka kaku sehingga sulit bicara. Beberapa dari mereka memaksakan diri berteriak karena merasakan sakit.
Lillani mencoba membantu para korban untuk mengurangi rasa sakit dan membersihkan debu vulkanik dengan membasuhkan air. Dia membilas mulut, mata, dan menuangkan air sebanyak mungkin ke bagian kulit yang terbakar.
Menurut Lillani, luka bakar yang dialami para korban parah sampai membuat kulit terkelupas. Abu panas menembus pakaian sehingga Lillani harus merobek untuk bisa mengobati.