Direktur pelaksana Eropa di lembaga pemikir Eurasia Group, Mujtaba Rahman, menilai kunjungan Macron sebagai upaya untuk menunjukkan kualitas hubungan dua negara pada tingkat politik tertinggi. “Tetapi masih ada kesenjangan mendasar mengenai sejumlah persoala. besar yang menghantui Uni Eropa,” tuturnya.
Salah satu kesenjangan utama itu terletak pada pertahanan Eropa, khususnya jika Trump memenangkan Pilpres AS 2024 pada 5 November nanti. Para pakar pertahanan memandang Trump sebagai sekutu yang kurang dapat diandalkan oleh Eropa bila dibandingkan dengan saingannya dari Partai Demokrat, Presiden petahana Joe Biden.
Awal tahun ini, Trump mengatakan bahwa dia tidak akan melindungi para anggota NATO dari serangan Rusia di masa depan, jika negara-negara tersebut "pelit" mengeluarkan anggaran militer. Mantan presiden Partai Republik itu bahkan juga mengatakan tidak akan segan-segan mendorong Rusia berbuat sesuka hati terhadap negara semacam itu.
Prancis, yang memiliki senjata nuklir, telah mendorong Eropa menjadi lebih mandiri dalam masalah pertahanan. Namun, Paris juga merasa dirugikan oleh keputusan Berlin untuk membeli sebagian besar peralatan militer Amerika untuk payung pertahanan udara European Sky Shield Initiative.
Sementara Jerman menyatakan tidak ada alternatif yang kredibel selain payung militer AS. Menurut Berlin, Eropa tidak punya waktu menunggu industri pertahanan dalam negeri bersiap menghadapi ancaman seperti permusuhan Rusia.