Dalam beberapa tahun terakhir, wilayah selatan Suriah, terutama Provinsi Suwayda yang mayoritas dihuni kaum Druze, menjadi titik rawan konflik antara pasukan pemerintah Suriah, kelompok pemberontak, milisi pro-Iran, dan sel-sel ISIS yang tersisa.
Israel mengklaim bahwa kehadiran milisi bersenjata pro-Iran dan Hizbullah di wilayah dekat perbatasan mengancam keselamatan komunitas Druze di Suriah, serta stabilitas kawasan Dataran Tinggi Golan.
Setelah tumbangnya rezim Assad, perang saudara di Suriah juga menempatkan posisi Druze semakin terpojok. Meski demikian pemerintahan Presiden Ahmad Al Sharaa terus menyerukan persatuan Suriah, termasuk merangkul kelompok ini.
Namun Israel tetap melakukan serangan udara ke sejumlah titik di Suriah selatan, termasuk fasilitas militer dan gudang senjata. Langkah tersebut jelas menuai kecaman dari Damaskus dan dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan.
“Israel menggunakan isu Druze untuk menjustifikasi intervensi militernya di Suriah, padahal itu adalah langkah geopolitik untuk menahan pengaruh Iran,” kata seorang analis Timur Tengah di Beirut.
Kaum Druze di Israel sering mengalami dilema identitas. Di satu sisi mereka menjadi warga negara aktif, bahkan patriotik. Namun di sisi lain, mereka kerap ditarik dalam konflik regional yang melibatkan Suriah dan Lebanon, dua negara dengan komunitas Druze besar yang tidak bersahabat dengan Israel.
Pada saat yang sama, kaum Druze di Suriah juga menghadapi tekanan dari rezim Assad, kelompok ekstremis, dan sekarang, secara tidak langsung, dari manuver militer Israel yang menggunakan nama mereka.