Saat ini, Palestina masih berstatus negara pengamat non-anggota. Status tersebut merupakan sebuah pengakuan de facto atas status kenegaraan yang diberikan oleh Majelis Umum PBB—yang beranggotakan 193 negara—pada 2012.
Namun permohonan untuk menjadi anggota penuh PBB harus disetujui oleh Dewan Keamanan PBB. Di dewan itu, Amerika Serikat selaku sekutu utama Israel yang memiliki hak veto, dapat memblokir upaya Palestina tersebut. Kalaupun Dewan Keamanan PBB menyetujui rancangan resolusi itu, keanggotaan Palestina selanjutnya mesti disetujui setidaknya dua pertiga dari Majelis Umum PBB.
Sementara Amerika Serikat pada awal bulan ini telah menyatakan bahwa pembentukan Negara Palestina merdeka harus dilakukan melalui perundingan langsung antarpihak (maksudnya dengan Israel) dan bukan melalui PBB.
Dewan Keamanan PBB telah lama mendukung cita-cita terwujudnya solusi dua negara, Palestina dan Israel, yang hidup berdampingan dalam batas-batas yang aman dan diakui. Palestina menginginkan sebuah negara di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza. Namun, seluruh wilayah itu dicaplok oleh Israel pada 1967.
Sampai saat ini, hanya sedikit kemajuan yang dicapai dalam pengakuan status Negara Palestina sejak penandatanganan Perjanjian Oslo antara Israel dan Otoritas Palestina pada awal dekade 1990-an.
Dorongan Palestina untuk menjadi anggota penuh PBB kali ini terjadi enam bulan setelah meletusnya perang antara Israel dan kelompok pejuang Hamas di Gaza. Pada saat yang sama, Israel terus memperluas permukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat yang didudukinya.