Alih-alih mengutuk kekerasan tersebut, Hasina justru berfokus pada kerusakan pada properti pemerintah, seperti rel kereta bawah tanah dan gedung-gedung televisi milik negara.
Hasina lahir pada 1947 di wilayah yang dulunya disebut Pakistan Timur (Bangladesh hari ini). Perempuan itu aktif berpolitik sejak usia muda. Ayahnya, Sheikh Mujibur Rahman, yang dikenal sebagai "Bapak Bangsa", memimpin Bangladesh menuju kemerdekaan dari Pakistan pada 1971 dan menjadi presiden pertama negara itu.
Pada saat itu, Hasina telah dikenal sebagai pemimpin mahasiswa terkemuka di Universitas Dhaka. Pembunuhan ayahnya dan sebagian besar keluarganya selama kudeta militer 1975, membuat dia dan adik perempuannya menjadi satu-satunya yang selamat, karena mereka sedang berada di luar negeri saat itu.
Setelah menghabiskan waktu di pengasingan di India, Hasina kembali ke Bangladesh pada 1981 dan mengambil alih kepemimpinan Liga Awami, partai yang didirikan ayahnya.
Dia memainkan peran penting dalam mengorganisasi protes prodemokrasi terhadap pemerintahan militer Jenderal Hussain Muhammad Ershad, yang dengan cepat memperoleh perhatian seantero negeri Asia Selatan itu. Hasina pertama kali menjadi perdana menteri pada 1996, dan memperoleh pengakuan atas keberhasilannya mengamankan perjanjian pembagian air dengan India dan perjanjian damai dengan kelompok pejuang berbasis kesukuan di Bangladesh tenggara.
Namun, pemerintahannya menghadapi kritik atas dugaan korupsi dan anggapan favoritisme terhadap India, yang menyebabkannya kehilangan kekuasaan dari mantan sekutunya yang berubah menjadi saingannya, Begum Khaleda Zia. Pada 2008, Hasina terpilih kembali sebagai perdana menteri dalam kemenangan telak dan kemudian memimpin pemerintahan selama 16 tahun berikutnya.
Selama masa jabatannya yang panjang, pemerintahan Hasina diwarnai oleh penangkapan politik yang meluas dan pelanggaran berat, seperti penghilangan paksa dan pembunuhan di luar hukum. Menurut catatan Human Rights Watch (HRW), sejak Sheikh Hasina menjabat pada 2009, aparat keamanan di negara itu telah terlibat dalam lebih dari 600 kasus penghilangan orang secara paksa.