Pandemi dinilai memperparah situasi di Lebanon yang telah terpuruk akibat krisis keuangan beberapa bulan sebelumnya. Warga setempat harus menghadapi jatuhnya nilai simpanan, melemahnya nilai tukar mata uang, kenaikan harga kebutuhan, serta pemecatan kerja.
Sebelum wabah, Bank Dunia sempat memprediksi 40 persen warga Lebanon akan hidup di garis kemiskinan pada akhir 2020. Namun, proyeksi itu dinilai usang oleh menteri ekonomi Lebanon.
Masalah ekonomi di negara itu berakar pada korupsi dan pemborosan anggaran negara bertahun-tahun yang terungkap pada tahun lalu setelah rakyat mengetahui sedikitnya arus modal yang masuk ke Lebanon. Di samping itu, krisis juga diperparah dengan aksi massa yang memprotes elite penguasa yang telah mendominasi Lebanon sejak perang saudara 1975-1990.
“Kami semua mewaspadai penyebaran virus dengan tetap berada dalam mobil,” kata Nur Bassam, demonstran lain, saat ditemui di Beirut.
“Keadaan tidak kunjung membaik, kami harus bersuara, khususnya (mewakili) orang-orang di rumah yang tidak dapat bekerja dan menyediakan makanan untuk keluarganya,” tuturnya.
Sejak pertengahan Maret, warga Lebanon hanya diizinkan meninggalkan rumah untuk membeli makanan atau obat-obatan. Aturan pembatasan itu diberlakukan pemerintah demi menekan penyebaran Covid-19 yang telah menginfeksi 677 orang dan menewaskan 21 orang di Lebanon.
Otoritas di Lebanon juga memberlakukan jam malam mulai pukul 20.00 sampai 05.00 waktu setempat. Pasukan keamanan dikerahkan untuk membantu pemerintah menegakkan aturan tersebut.