STOCKHOLM, iNews.id - Yayasan Nobel di Stockholm, Swedia, kembali menegaskan tidak akan menarik Hadiah Nobel Perdamaian yang diberikan kepada pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi pada 1991.
Meski demikian Yayasan Nobel tetap menyayangkan sikap Aung San Suu Kyi sebagai pemimpin pemerintahan sipil terhadap etnis Rohingya. Tim pencari fakta PBB menyebut kekerasan yang terjadi di Rakhine merupakan pembersihan etnis.
Ketua Yayasan Nobel Lars Heikensten mengatakan, tidak masuk akal untuk menarik kembali penghargaan untuk merespons peristiwa yang terjadi setelah pemberian hadiah Nobel.
Suu Kyi mendapat Hadiah Nobel Perdamaian pada 1991 karena dianggap berjasa dalam memperjuangkan demokrasi. Namun dia menghadapi kecaman dari dunia internasional dalam kapasitasnya sebagai pemimpin Myanmar. Perannya sebagai pemimpin dipertanyakan karena tak bisa melindungi warga sipil.
"Kami tahu, apa yang dia lakukan di Myanmar menjadi pertanyaan banyak pihak dan kami tetap mendukung HAM. Itu merupakan salah satu nilai inti kami," kata Heikensten, dikutip dari Reuters, Selasa (2/10/2018).
"Jadi, tentu saja, sejauh dia (harus) bertanggung jawab atas hal itu, maka sangat disesalkan," tambahnya.
Sementara itu, juru bicara pemerintah Myanmar, Zaw Htay, enggan berkomentar saat dimintai komentarnya oleh Reuters soal Hadiah Nobel Perdamaian Suu Kyi. Dia tidak bisa memberikan pernyataan melalui telepon, melainkan hanya pada saat jumpa pers resmi yang digelar pemerintah dua kali dalam sepekan.