4. Almas Tsaqibbirru sang penggugat ternyata mahasiswa Universitas Negeri Surakarta
Sosok Almas Tsaqibbirru, mahasiswa Universitas Negeri Surakarta (UNSA) penggugat batas usia capres-cawapres ke Mahkamah Konstitusi (MK) menyita perhatian publik. Terlebih gugatanya dikabulkan MK.
Dia mengajukan gugatan ke MK untuk mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah.
Salah satu alasan dirinya melakukan gugatan karena prihatin banyak orang-orang yang memiliki potensi untuk maju tapi terhalang batas usia. Namun dia menampik tudingan gugatannya untuk memuluskan Gibran maju sebagai Cawapres.
“Ini tidak ada kaitannya dengan Mas Gibran, ini murni niat dari saya sendiri tidak ada intervensi pihak manapun,” katanya.
5. Almas ajukan gugatan untuk uji ilmu yang didapat saat kuliah
Putusan MK ini membuat nama Almas Tsaqibbirru turut menjadi sorotan publik yang penasaran dengan sosoknya. Almas belakangan diketahui merupakan anak pertama Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.
Almas kelahiran 16 Mei 2000. Ia tinggal di Ngoresan, Kecamatan Jebres, Kota Solo. Saat ini, ia tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (UNSA) semester 8. Pada akhir Oktober 2023, dia akan diwisuda sebagai sarjana.
Putusan MK membuat peluang Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) terbuka lebar meskipun usianya baru 35 tahun. Terlebih santer kabar, Gibran akan dipinang menjadi cawapres.
“Saya senang dengan dikabulkannya sebagian gugatan tersebut. Ini untuk menguji ilmu yang saya dapatkan di sekolah,” kata Almas saat ditemui di kawasan Stadion Manahan Solo, Senin (16/10/2023) malam.
6. Hakim MK Saldi Isra sebut sikap MK berubah usai Anwar Usman terlibat
Hakim Konstitusi Saldi Isra mengungkap perubahan sikap sejumlah hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia capres-cawapres. Perubahan sikap itu terjadi setelah Ketua MK Anwar Usman ikut hadir dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk memutus perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023.
"Tercatat RPH tanggal 19 September 2023 tersebut tidak dihadiri oleh hakim konstitusi dan sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman," ujar Saldi di Ruang Sidang MK, Senin (16/10/2023).
Anwar Usman tak lain merupakan paman dari Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka sekaligus adik ipar Presiden Jokowi.
Saat itu, kata dia, keputusan RPH menolak putusan perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang.
Namun, semua itu berubah saat rapat pembahasan putusan perkara 90-91/PUU-XXI/2023 yang dihadiri langsung oleh sembilan hakim konstitusi termasuk Anwar Usman.
"Beberapa hakim konstitusi yang dalam perkara nomor 29-51-55/PUU-XII/2023 yang telah memosisikan pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, tiba-tiba menunjukkan ‘ketertarikan’ dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam petitum perkara 90/PUU-XXI/2023," katanya.
7. Hakim MK ungkap 3 gugatan serupa sebelumnya ditolak
Hakim Konstitusi, Saldi Isra menyebut MK telah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Hal itu ditegaskan pada Putusan MK Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023 soal batas usia capres-cawapres.
"Padahal, sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari," ucapnya.
8. Panen kecaman
Putusan MK tersebut menuai banyak kecaman. Selain dikritik oleh hakim konstitusi sendiri, sejumlah pihak melayangkan kritikan.
Politikus PDIP, Ahmad Basarah menyebut putusan itu disertai persoalan karena hanya tiga hakim konstitusi yang setuju dengan putusan itu. Sementara 2 lainnya setuju namun berbeda pendapat dan 4 tidak setuju.
"Putusan semacam ini jika langsung ditindaklanjuti oleh KPU akan melahirkan persoalan hukum dan berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari terkait legitimasi dan kepastian hukum putusan. Untuk itu sudah seharusnya KPU mengedepankan asas kehati-hatian, kecermatan dan kepastian dalam mempelajari keputusan ini," katanya.
Sementara itu Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi mengatakan putusan MK dalam gugatan nomor 90-91/PUU-XXI/2023 itu tidak konsisten.
"MK yang mengklaim sebagai the sole interpreter of the constitution atau satu-satunya lembaga penafsir konstitusi, nyatanya telah memimpin penyimpangan kehidupan berkonstitusi dan mempromosikan keburukan atau kejahatan konstitusional (constitutional evil)," tutur Hendardi.
Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) I Dewa Gede Palguna juga menyoroti putusan itu. Menurutnya hakim konstitusi seharusnya menolak.
"Seharusnya MK menolak permohonan ini," kata Dewa saat dihubungi, Senin (16/10/2023).
Dewa menegaskan, MK tak memiliki ranah untuk mengubah syarat pendaftaran capres atau cawapres. Pasalnya, hal itu merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy. Ia merasa lebih tepat bila pengaturan syarat pendaftaran capres-cawapres itu ditangani oleh DPR RI.
"Soal usia adalah sepenuhnya kewenangan pembentuk undang-undang yang tidak dapat dinilai konstitusionalitasnya," kata Dewa.