Artinya, memaafkan tidak selalu membuat orang berubah. Ada yang tetap setia pada keburukannya, ada yang memanfaatkan kebaikan itu untuk berburu kembali. Di titik ini, kebesaran hati Prabowo diuji, apakah ia akan tetap konsisten memaafkan, atau suatu saat harus bertindak tegas ketika kebaikan itu dikhianati.
Noel menegaskan, pernyataannya bukan sekadar pujian kosong, melainkan refleksi kritis tentang kualitas kepemimpinan yang
jarang muncul di tengah politik transaksional. Dia melihat langsung bagaimana seorang Prabowo memilih jalan memaafkan, bukan karena lemah, tapi karena sadar dendam tidak pernah membangun bangsa. Memaafkan bukan berarti melupakan, tapi menandai awal baru bagi perjalanan Indonesia ke depan.
Dia menambahkan, ketika publik masih terjebak dalam prasangka dan tuduhan lama, amnesti dan abolisi ini menjadi pengingat bahwa presiden yang mereka pilih kini berdiri di atas semua luka masa lalu.
"Prabowo mengajarkan kebesaran seorang pemimpin bukan diukur dari seberapa banyak lawan yang ia kalahkan, tetapi seberapa banyak lawan yang ia ampuni. Di situlah, sejarah akan menilai dengan jujur, bahwa kebesaran itu nyata, bukan sekadar narasi politik," katanya.