Dia menuturkan, tingginya angka ketidakpuasan publik terhadap bidang hukum dipicu oleh beberapa faktor, antara lain persepsi publik terhadap upaya pemberantasan korupsi, independensi penegak hukum, perlindungan kebebasan berpendapat, kualitas kebijakan serta beberapa faktor lainnya yang dinilai tidak menghasilkan kinerja optimal.
"Padahal, dalam konsepsi negara hukum, harus ada penghormatan terhadap pengakuan normatif dan empirik atas prinsip supremasi hukum, prinsip persamaan kedudukan di depan hukum, dan asas legalitas, yaitu penegakan dan penerapan hukum yang tidak bertentangan dengan hukum," tuturnya.
Menurutnya, secara filosofis penegakan hukum yang berkeadilan harus merujuk pada konsep keadilan sebagaimana diamanatkan sila ke-dua Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, menempatkan keadilan sebagai bagian dari martabat kemanusiaan.
Selain itu, kata dia harus merujuk pada sila kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan menempatkan keadilan sebagai hak yang dapat diakses oleh seluruh anak bangsa tanpa diskriminasi.
"Pasal 1 ayat (3) konstitusi menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Konstitusi juga mengatur penyelenggaraan peradilan dilaksanakan untuk menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1), adanya pengakuan persamaan kedudukan hukum setiap warga negara (Pasal 27 ayat 1) adanya jaminan atas kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang tidak diskriminatif (Pasal 28D ayat 1) dan pengakuan sebagai pribadi dihadapan hukum sebagai hak asasi (Pasal 28 I ayat 1)," katanya.
Dia menjelaskan, pembangunan hukum nasional harus menjadi upaya kolektif karena membutuhkan komitmen dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, mulai dari aparat penegak hukum, pemerintah, maupun berbagai elemen masyarakat.
"Penegakan hukum yang berkeadilan juga harus dimaknai bahwa hukum tidak hanya diperlakukan semata-mata sebagai sebuah prosedur yang harus ditaati," ucapnya.