Aturan ini merupakan hasil dari uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2019 lalu. MK mempertegas aturan larangan napi atau mantan napi termasuk koruptor maju pilkada.
Dalam regulasi sebelum uji materi tersebut, tidak ada pasal yang mengatur larangan mantan narapidana korupsi untuk maju menjadi calon kepala daerah. Peraturan sebelumnya hanya mengimbau partai politik untuk memprioritaskan calon selain mantan narapidana korupsi.
Putusan MK ketika itu disambut baik oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) selaku pihak yang mengajukan uji materi terhadap UU Pilkada.
“Ini adalah keputusan penting dan progresif,” ujar Donal Fariz, Koordinator Divisi Advokasi Korupsi Politik ICW, dikutip dari laman resmi ICW.
Dapat disimpulkan, UU Pilkada melarang tegas napi atau mantan napi koruptor maju pilkada. Mantan napi hanya bisa maju sepanjang hak politiknya tidak dicabut oleh pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Lalu bagaimana jika status calon kepala daerah itu adalah tersangka? Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tersangka adalah orang yang diduga atau dicurigai atau telah disangka melakukan tindak pidana. Definisi tersangka berbeda dengan terpidana yang telah mendapat putusan berkekuatan hukum tetap.
Diketahui, tidak ada aturan eksplisit yang menggugurkan calon kepala daerah yang berstatus tersangka. Tersangka masih bisa mengikuti pemilihan umum sepanjang belum mendapatkan putusan berkekuatan hukum tetap.