Tak hanya itu, tutur Daniel, diskriminasi akses BBM subsidi juga masih ditemukan terjadi kepada Nelayan mengingat berdasarkan Perpres 191 tahun 2014, Nelayan harus memiliki surat rekomendasi dari pemerintah daerah setempat untuk mendapat BBM subsidi.
Menurut Daniel, surat rekomendasi ini harus diurus setiap bulannya dengan syarat Nelayan memiliki izin melaut (pas kecil) dan bukti pencatatan kapal (BPKP) yang dikeluarkan pihak pelabuhan.
“Sementara banyak dari permukiman Nelayan yang akses pelayanan publiknya belum memadai. Jadi untuk mengurus surat rekomendasi ini tidak mudah,” tutur Daniel.
“Belum lagi ketika para Nelayan kecil ini harus rebutan mendapatkan BBM subsidi dengan Nelayan besar dan kelompok pekerja dari sektor lain yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi,” ucapnya.
Tentu, ujar Daniel, keadaan ini menjadi ironi mengingat kendaraan pribadi dapat membeli solar bersubsidi tanpa ada syarat administrasi yang cukup rumit. Daniel juga menyoroti data dari KNTI yang menyebut ketersediaan stasiun pengisian BBM untuk nelayan atau Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN) hanya 3 persen atau 374 stasiun dibandingkan jumlah desa pesisir di Indonesia.
“Kurangnya infrastruktur untuk kemudahan Nelayan kecil mengakses solar bersubsidi harus segera diatasi. Jadi bantuan bagi Nelayan tidak cukup hanya sekadar Bansos, tapi masalah utamanya juga harus dibenahi,” tutur Legislator dari Dapil Kalimantan Barat I itu.