Resolusi Jihad membawa pengaruh besar khususnya pada perlawanan rakyat di Jawa Timur. Dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya melawan pasukan Inggris, banyak pengikut NU aktif terlibat. Bahkan, Bung Tomo yang melakukan orasi-orasi di radio perjuangan untuk membakar semangat perlawanan meskipun bukan santri sering meminta nasihat kepada KH Hasyim Asy’ari.
Dalam resolusi yang dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, 26 Oktober 1945, dinyatakan “bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan NKRI menurut hukum agama Islam, termasuk sebagai suatu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam”.
Menurut Abdurahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur, Resolusi Jihad merupakan salah satu momentum penting internalisasi paham kebangsaan dalam tubuh NU, selain peran KH Wahid Hasyim dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Karena itu, Gus Dur menganggap tidak perlu lagi mempertentangkan Islam dan nasionalisme.
Resolusi Jihad itu menyerukan: Pertama, memohon kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannya. Kedua, agar memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya NKRI dan agama Islam.
Relevansi Kekinian
Resolusi Jihad merupakan sebuah komitmen untuk mempertahankan, mengisi kemerdekaan, dan menjaga keutuhan Indonesia. Sebuah komitmen yang selalu relevan dengan konteks zaman dan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Karena, ancaman kebangsaan terus datang silih berganti sesuai dengan kondisi zaman.