JAKARTA, iNews.id - Baru-baru ini ramai bahwa Indonesia masuk peringkat ketiga fatherless country di dunia atau negara dengan minimnya keterlibatan sosok ayah dalam kehidupan bangsa. Merespons hal itu, pakar Universitas Gadjah Mada (UGM) pun buka suara.
Menurut Psikolog UGM, Diana Setiyawati saat ini fenomena tersebut pada dasarnya memang dirasakan di Indonesia. Di mana sosok ayah minim dalam kehidupan seorang anak.
“Fatherless ini menjadi fenomena yang sudah dirasakan bersama di mana peran ayah bisa dikatakan minim,” ucap dia dikutip dari laman resmi UGM, Selasa (23/5/2023).
Kepala Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM ini menjelaskan bahwa pengasuhan anak pada dasarnya membutuhkan keterlibatan kedua orang tua secara berimbang. Artinya, pengasuhan anak tidak hanya tanggung jawab ibu, tetapi juga ayah.
“Namun, yang banyak terjadi ayah tidak terlibat dalam pengasuhan. Ini jadi fenomena yang cukup lazim, salah satunya karena pengaruh budaya,” tutut dia.
Ternyata, fenomena tersebut terjadi karena budaya patriarki yang masih melekat pada masyarakat Indonesia. Dalam budaya ini, perempuan bertanggung jawab untuk urusan domestik dan mengurus anak dan laki-laki bertanggung jawab pada urusan publik.
Selain faktor budaya, anak bisa mengalami fatherless karena orang tua yang terlalu sibuk. Karena kesibukan bekerja, menjadikan ayah sulit untuk terlibat dalam pengasuhan.
“Faktor orang tua yang fly in fly out, terlalu sibuk, misal berapa hari sekali baru bisa pulang menjadikan secara teknis lebih dulit terlibat dalam pengasuhan. Sementara saat sudah pulang tidak ada komitmen untuk mengganti hari-hari yang hilang,” ujarnya.
Selain itu, fenomena ini juga bisa terjadi karena orang tua, dalam hal ini ayah, tidak mengerti bagaimana mengasuh anak yang baik.
“Fatherless karena tidak tahu cara mengasuh anak, tidak ada model yang bisa ditiru dan tidak ada ilmunya,” kata dia.