Hingga saat itu, perempuan-perempuan yang sempat digandrunginya hanyalah mereka yang menatapnya dari layar perak. Namun, ketika dia mulai mengajar di madrasah di Tambakberas pada awal tahun 1960-an, dia mulai tertarik kepada seorang siswi yang bernama Nuriyah.
Gadis ini salah satu dari gadis-gadis yang paling menarik di kelasnya. Dia cerdas dan berpikir bebas serta menarik perhatian sejumlah pemuda di lingkungan pesantren itu. Oleh karenanya, cukup mengherankan apabila dia bisa tertarik pada sang guru yang agak canggung, seorang kutu buku, agak gemuk, mengenakan kaca mata besar serta tebal.
Namun demikian, Nuriyah merupakan produk masyarakat pesantren dan seorang gadis kelahiran Jombang. Karena itu, tidaklah mudah baginya untuk menolak putera KH Wahid Hasyim itu.
Bagi Nuriyah, Gus Dur bukan lah sama sekali tanpa daya tarik. Gus Dur menarik perhatiannya karena keintelekan dan juga tujuan hidupnya yang kuat. Hingga pada akhirnya, pada bulan November 1963 Gus Dur berangkat ke Kairo, Mesir, karena mendapatkan beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas Al-Azhar.
Selama tahun-tahun yang dihabiskan di Kairo, Gus Dur, rutin terus berkorespondensi melalui surat dengan Nuriyah. Surat-surat dari gadis ini, yang datangnya secara teratur, ditafsirkan Gus Dur sebagai tanda dia tidak sepenuhnya ditolak.
Nuriyah pandai berkorespondensi dan setelah lewat beberapa tahun hubungan mereka menjadi lebih dalam daripada sekadar persahabatan ketika mereka di Jombang. Kala itu, Nuriyah sering menolak pemberian buku dari Gus Dur.