"Ternyata selama di dalam lapas, mereka yang merupakan tokoh atau otak teroris selalu mempengaruhi beberapa napi umum untuk bergabung dengan kelompoknya atau mengendalikan, membuat permufakatan sesama napi teroris tanpa sepengetahuan petugas. Hal ini berbahaya karena bisa menyebarkan paham radikal," katanya.
Untuk menghindari penyebaran paham radikal dan pengendalian aksi teroris dalam lapas, Kemenkumham membangun lapas high risk khusus teroris di Nusakambangan. "Ini biasanya berlaku untuk para tokohnya. Tapi ada juga yang sudah kembali ke NKRI, seperti Umar Patek di Lapas porong Jatim. Sudah mau mengibarkan Bendera Merah Putih, serta aktif dalam pembinaan kepribadian dan kemandirian di Lapas Porong," ungkapnya.
Ade mengatakan pembinaan kemandirian dan kepribadian di dalam lapas diberikan kepada mereka yang sudah melunak faham radikalnya. "Bagi yang masih garis keras diadakan pendekatan terus bekerja sama dengan BNPT, alim ulama dan tokoh agama, dan tokoh masyarakat dari mantan kelompok mereka," katanya.
Dia mengatakan mayoritas napi teroris dalam Lapas yang masih kuat pahamnya cenderung mengasingkan diri, menutup diri, tidak mau menyatu dengan napi lain.
"Beribadah pun mereka tidak mau bergabung dengan orang lain yang bukan kelompoknya. Mereka menganggap orang lain thogut (penyembah berhala), sehingga memberikan pembinaan kepada kelompok radikal tidak mudah, butuh waktu untuk melunakkannya, tidak sehari atau sebulan bahkan setahun, hati dan pikiran mereka tertutup untuk kelompok lain," jelas Ade.
Untuk itu, hal yang dilakukan pihak lapas kepada napi teroris yang masih berpaham radikal adalah bekerja sama dengan BNPT untuk memberikan pembinaan.
"BNPT memegang kendali dalam pencegahan, pembinaan selama di dalam lapas serta pembimbingan setelah bebas. Ditjen PAS memfasilitasi BNPT, biasanya BNPT datang Lapas beserta para ustaz mantan teroris yang sudah kembali ke NKRI," katanya.