”Terhadap Firli, Pansel sudah melakukan cross examination terhadap positif negatif hasil rekam jejak Firli baik dari BIN, BNPT, BNN, PPATK, Polri, Kejaksaan, bahkan KPK,” ujarnya.
Pakar hukum ini melanjutkan, dari hasil rekam jejak yang diserahkan langsung oleh Deputi PIPM KPK kepada Pansel juga telah dilakukan uji silang dengan rekam jejak dari lembaga-lembaga terkait tersebut. Hasilnya, Pansel tidak menemukan sama sekali wujud keputusan DPP formil yang memutuskan secara definitif adanya pelanggaran berat etik dari Firli.
Tidak hanya itu, saat tahap wawancara/uji publik, Firli sudah mengklarifikasi dan menjelaskan tidak ada keputusan dari DPP. Terhadap keterangan ini Pansel secara eksploratif telah mendalami masukan-masukan dari KPK dan masyarakat sipil.
Dari pendalaman itu juga juga tidak ditemukan keputusan formal DPP atas pelanggaran etik Firli, kecuali pernyataan-pernyataan, rumusan-rumusan dan ucapan-ucapan obscuur (tidak jelas/kabur) yang dapat menciptakan stigma dan labelisasi negatif kepada capim.
“Pernyataan, rumusan dan ucapan yang tersebar di ruang publik ini dapat menciptakan “misleading statement” dan “character assassination” yang tentunya merugikan harkat martabat capim, apalagi bila pernyataan ini justru untuk menciptakan labelisasi stigma negatif dari tujuan eliminasi tahapan fit and proper test capim,” kata Indriyanto.
Dia meminta sebaiknya semua pihak dapat bersikap bijak dan tidak prejudice atau menghakimi bahkan menebar zalim dan kebencian yang berdampak pada disharmonisasi kelembagaan penegak hukum.
”Pernyataan-pernyataan menyesatkan dengan stigma ini sudah mewujudkan demokrasi yang tidak sehat dan melanggar tataran hukum di ruang publik terbuka yang harus dihormati. Semua pihak sebaiknya mempercayakan mekanisme fit and proper test kepada DPR,” ucapnya.