Kuasa hukum para pemohon, Reza, menyatakan ketiadaan pengakuan eksplisit ini menghambat sosialisasi dan advokasi hak-hak bagi orang dengan penyakit kronis.
"Ketika melakukan sosialisasi mengenai layanan publik, para Pemohon harus menjelaskan kondisi mereka secara rinci. Jika penyakit kronis diakui sebagai ragam disabilitas, proses ini akan lebih mudah dipahami pemangku kebijakan dan memastikan hak mereka terpenuhi," ujar Reza.
Tidak adanya aturan itu dinilai bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena membatasi kesempatan para pemohon untuk mengembangkan diri, berpartisipasi dalam masyarakat, dan mendapatkan layanan yang menjadi hak penyandang disabilitas.
"Pengakuan eksplisit akan mempermudah sosialisasi, memperkuat advokasi, dan menjamin hak orang dengan penyakit kronis terpenuhi secara setara," tutupnya.
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan pemohon untuk memerinci terkait penyakit yang dimaksud. Para pemohon juga diminta untuk menguraikan alasan kuat yang menunjukkan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma yang telah berjalan.