Fenomena ini juga terlihat dalam acara debat di televisi. Semua pembicara merasa sejajar, saling sahut menyahut. Sebuah perdebatan yang digemari pengusaha stasiun TV agar seru, rating penonton tinggi, lalu sponsor iklan juga banyak.
Oleh Tom Nichols, perdebatan seperti itu diibaratkan sebuah pertandingan hoki tanpa wasit. Bahkan, penonton bisa nimbrung ikut bertanding. Semuanya menjadi pemain, pengamat, dan analis.
Dalam ranah kepartaian, memudarnya kepakaran intelektual partai juga terlihat. Untuk maju ikut bertanding dalam pemilihan calon legislatif yang menentukan kemenangannya bukan karena kepakarannya, tetapi banyaknya uang dan publikasi.
Ironis, di berbagai tempat, caleg berkualitas secara intelektual dan merupakan kader partai kalah bersaing dengan pendatang baru karena faktor uang dan popularitas sebagai komedian.
Akibat dari pudarnya wibawa kepakaran, maka dalam kompetisi untuk memenangkan jabatan politik di negeri ini yang menjadi modalnya adalah jumlah massa dan uang. Di lingkungan umat beragama, kepakaran ini sampai batas tertentu masih dihormati.
Tetapi, pelan-pelan semakin pudar dan menciut pengaruhnya. Berkembang kebudayaan dan mazhab agama eklektik, hibrida, sintetik, dan campur sari.*
*Artikel ini telah tayang di Koran SINDO