"Dengan memanfaatkan posisi rentan korban yang seluruhnya berasal dari keluarga miskin, tidak memiliki pekerjaan, tulang punggung keluarga, beberapa dia ntaranya merupakan janda dan korban KDRT dari perkawinan sebelumnya, menyebabkan korban dan keluarga menyetujui perkawinan," kata dia.
Selain itu, ditemukan juga terdapat pemalsuan dokumen perkawinan khususnya pada kasus dua korban yang masih berusia anak pada kasus perkawinan pesanan/kontrak.
Untuk proses ketiga yaitu tujuan. Dalam kasus perkawinan pesanan ini pengantin perempuan dieksploitasi. Dari data pelaporan korban yang dihimpun oleh SBMI memperlihatkan bahwa sesampainya di tempat asal suami, mereka diharuskan untuk bekerja di pabrik dengan jam kerja panjang.
Tidak hanya itu, sepulang kerja mereka juga diwajibkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan membuat kerajinan tangan untuk dijual. Seluruh gaji dan hasil penjualan dikuasai oleh suami dan keluarga suami.
Para korban pun dilarang untuk berhubungan dengan keluarga di Indonesia dan bila ingin kembali ke Tanah Air, para korban diancam harus mengganti kerugian yang sudah dikeluarkan oleh keluarga suami.
"Mereka juga kerap dianiaya oleh suami dan keluarga suami dan dipaksa untuk berhubungan seksual oleh suami bahkan ketika sedang sakit. Tidak hanya suami dan keluarga suami yang mengeksploitasi para korban, eksploitasi juga dilakukan oleh sindikat perekrut yang terorganisir dengan mengambil keuntungan ratusan juta rupiah dari perkawinan pesanan ini," ujar Bobi.
Belum ada keterangan dari pihak kepolisian terkait hal ini. Mabes Polri yang dikonformasi terkait keterangan SBMI belum menanggapi.