SETARA Institute: Format Debat Capres-Cawapres Berubah Menambah Kecurigaan Publik ke KPU

Raka Dwi Novianto
SETARA Institute menilai format debat capres-cawapres 2024 yang diubah menambah kecurigaan publik ke KPU. (Foto: MPI)

JAKARTA, iNews.id - SETARA Institute menilai format debat capres-cawapres yang diubah menambah kecurigaan publik ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kredibilitas penyelenggaraan Pemilu 2024 pun dipertaruhkan.

"KPU semakin menebalkan kecurigaan publik bahwa patut diduga KPU tunduk pada intervensi kekuatan politik eksternal mereka. Kecurigaan demikian rasional, sebab keputusan KPU hadir di tengah beberapa konteks yang sangat kasat mata," kata Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan dalam keterangannya, Sabtu (2/12/2023).

Dia mengatakan, kecurigaan awal muncul saat Putusan MK 90/2023 yang memberikan jalan Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden sekaligus keponakan Ketua MK saat itu, menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto.

"Sebagaimana diketahui bersama, secara substantif maupun prosedural Putusan tersebut bermasalah dan, dalam berbagai pernyataan publik, SETARA menyebutnya sebagai kejahatan konstitusional (constitutional evil)," kata Halili.

Kecurigaan lainnya, lanjut Halili, saat putusan MKMK yang pada pokoknya menegaskan bahwa secara kelembagaan MK terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 melalui Ketua MK yang sudah diberhentikan, yaitu Anwar Usman, ipar Presiden sekaligus paman Gibran.

"Ketiga, pernyataan publik Ketua KPK Periode 2015-2019, Agus Rahardjo bahwa saat KPK mengungkap kasus korupsi E-KTP dan menetapkan Ketua DPR RI saat itu, Setya Novanto, sebagai tersangka, Presiden Jokowi marah dan meminta KPK untuk menghentikan pengungkapan kasus korupsi E-KTP. KPK dalam kenyataannya menolak permintaan Presiden. Pernyataan Agus dibenarkan oleh Wakil Ketua KPK saat itu, Alexander Marwata," kata Halili.

Rangkaian peristiwa tersebut, kata Halili, menguatkan kecurigaan publik bahwa terdapat kekuatan politik yang mengarah pada Istana Negara mengintervensi lembaga-lembaga lainnya. 

Menurut Halili, KPU seharusnya menimbang sentimen publik terkait kepercayaan kepada penyelenggaraan Pemilu sebagai pertaruhan terakhir kelembagaan demokrasi yang semakin surut (regressive) dan mengarah pada otoritarianisme (leading to authoritarianism).

Editor : Rizky Agustian
Artikel Terkait
Nasional
9 hari lalu

KIP Cecar KPU soal Pengecualian Informasi di Salinan Ijazah Jokowi: Anda Paham Tidak?

Nasional
9 hari lalu

Bonatua Ungkap Fakta Mencengangkan, KPU Tak Pernah Pastikan Ijazah Jokowi Asli

Nasional
9 hari lalu

KIP Tegur KPU Bisik-Bisik di Sidang terkait Ijazah Jokowi: Ini Bukan Warkop

Nasional
15 hari lalu

Pengacara Bonatua Sebut Polemik Ijazah Jokowi Jadi Momentum untuk Perbaiki UU Pemilu

Berita Terkini
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
Network Updates
News updates from 99+ regions
Personalize Your News
Get your customized local news
Login to enjoy more features and let the fun begin.
Kanal