JAKARTA, iNews.id – Isu perpanjangan masa jabatan presiden mencuat seiring polemik ketidakpastian berakhirnya wabah virus Pandemi Covid-19.
Sebagian merespons positif dengan menganggap wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi 7 tahun atau 8 tahun tidak menjadi masalah selama melalui prosedur demokratis.
Namun sebaliknya, sebagian yang lain berprasangka bahwa isu tersebut berpotensi mengarah ke degradasi demokrasi, bahkan otoritarianisasi.
Wacana perpanjangan masa jabatan presiden bukanlah hal yang baru. Wacana itu pernah mengemuka saat era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2010. Namun, hal itu kandas tak berlanjut. Di sisi lain, kontroversi wacana tersebut tidak dapat semata dipandang dari hal yang pragmatis semata. Melainkan lebih jauh, yakni implikasi terhadap konstruksi kelembagaan maupun fatsun demokrasi kita.
Direktur Lembaga Pemilu dan Demokrasi PB PMII Yayan Hidayat mengungkapkan, secara empiris, sebagian besar negara memberlakukan masa jabatan presiden maksimal dua periode, baik 4 tahunan maupun 5 tahunan (list of political term limits). Tidak ada satu pun negara yang memberlakukan masa jabatan Presiden 7 tahun atau 8 tahun dalam sekali periode.
“Tidak ada satu pun negara yang memberlakukan masa jabatan Presiden 7 tahun atau 8 tahun dalam satu kali periode. Itu adalah hal yang aneh dan sudah pasti memicu terjadinya degradasi demokrasi,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Rabu (2/3/2022).
Dia mengatakan, persoalan kekhawatiran bahwa proses pembangunan ekonomi dapat mengalami keterputusan apabila presiden berganti, agaknya berlebihan. Problem tersebut sebenarnya dapat diupayakan dengan intensitas komunikasi di antara para elite, baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif.
“Sebaliknya, tidak ada jaminan ketika presiden menjabat lebih lama, pembangunan ekonomi akan semakin baik” ungkap Yayan.
Menurut Yayan, dalih pemulihan ekonomi akibat terpaan badai Pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk perpanjangan masa jabatan Presiden tak dapat dibenarkan. Sebab, pandemi Covid-19 juga terjadi di semua negara demokratis seperti Amerika Serikat, Iran, New Zealand, dengan segala dampak sosial dan ekonominya.
Tetapi tak ada yang karena alasan ekonomi akibat Covid-19 kemudian mengubah konstitusinya untuk menambahkan masa jabatan bagi Presiden.