UU juga memberi kewenangan pemerintah pusat untuk memberhentikan kepala daerah jika DPRD tidak memproses pemakzulan meski ada pelanggaran. Prosesnya serupa: pengumpulan bukti, pemeriksaan MA, lalu pemberhentian oleh Presiden.
Secara teori, syarat pemakzulan bupati adalah persoalan hukum. Namun dalam praktik, aspek politik sering kali lebih dominan. Proses pemakzulan memerlukan mayoritas besar di DPRD, sehingga kekuatan politik, koalisi partai, dan lobi menjadi faktor penentu. Mekanisme ini sejalan dengan prinsip demokrasi dan checks and balances, tetapi juga membuka ruang kompromi atau bahkan tarik-menarik kepentingan.
Wacana pemakzulan Bupati Pati Sudewo mencuat setelah kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen memicu protes warga. Meski kebijakan dibatalkan, sebagian pihak di DPRD dan masyarakat tetap menggulirkan desakan pemberhentian.
Namun, secara hukum, wacana tersebut baru bisa berlanjut jika memenuhi salah satu dari sembilan syarat pemakzulan dalam Pasal 78, lalu diproses melalui mekanisme Pasal 80. Tanpa proses formal di DPRD dan putusan MA, desakan publik belum bisa menghasilkan pemakzulan yang sah.
Syarat pemakzulan bupati diatur jelas dalam UU 23/2014: mulai dari sembilan alasan pemberhentian hingga prosedur tiga tahap melalui DPRD, MA, dan Presiden/Mendagri. Meskipun regulasi menekankan aspek hukum, kenyataannya proses pemakzulan sangat kental nuansa politik.