Dinna Wisnu, PhD
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
@dinnawisnu
ADA doktrin yang mengatakan bahwa politik luar negeri adalah cerminan atau kepanjangan tangan dari kepentingan politik dalam negeri. Apabila kepentingan politik di dalam negeri terpecah-pecah alias ada ego-sektoral, hal itu juga akan tecermin dalam interaksi negara tersebut dengan negara-negara lain.
Doktrin ini mungkin dapat menjelaskan dengan sederhana tentang apa yang masih berlangsung di Laut Natuna. Masuknya coast guard China mengawal nelayan-nelayan mereka di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Laut Natuna yang merupakan wilayah kedaulatan Indonesia saat mengambil ikan bisa jadi disebabkan mereka mengetahui bahwa formulasi kebijakan politik luar negeri Indonesia tersebar di empat entitas kelembagaan, yaitu Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertahanan, dan TNI.
Tiap lembaga punya pertimbangan yang berbeda karena masalah yang dihadapi masing-masing kerap disikapi berbeda pula di tataran mikro. Ironisnya level kementerian koordinator pun, yakni Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, belum mampu memberikan kesamaan pandangan terhadap masalah yang disebabkan oleh negara yang itu-itu lagi. Dampaknya jelas, masalah Natuna di Indonesia sampai perlu ditanggapi langsung oleh Kepala Negara, sementara di China cukup ditanggapi oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri.
Problem dengan China ini muncul karena ZEE Indonesia di perairan Natuna ini memang menarik bagi nelayan-nelayan. Bukan hanya nelayan dari China yang pernah ditemukan melanggar aturan dengan melaut di sana, tetapi juga ada dari Vietnam, Malaysia, dan Filipina.
Maklum, berdasarkan pengakuan sejumlah praktisi kelautan dan perikanan, volume ikan berharga mahal (seperti tuna, cakalang, tongkol) melimpah di ZEE kita. Meskipun ada bagian dari Laut Natuna yang juga menjadi porsi sengketa antara Vietnam dan China, wilayah yang lebih kaya ikan adalah ZEE Indonesia.
ZEE perairan Natuna pada Desember sampai Februari adalah periode waktu di mana volume ikannya maksimal. Oleh sebab itu tidak aneh apabila banyak nelayan dari negara tetangga yang ingin masuk ke wilayah tersebut pada bulan-bulan ini. Ada yang minta izin dan ada yang tidak.
Mereka yang meminta izin untuk mengeksploitasi ZEE pun pernah tertangkap tidak jujur. Ada ditemukan kasus di mana jumlah kapal nelayannya lebih banyak dan lebih besar tonasenya daripada yang dilaporkan.
Sejumlah kapal itu juga diberi identitas yang sama sehingga membingungkan pihak Indonesia. Problem jumlah pengawas yang terbatas menghambat fungsi pengawasan dari izin-izin yang dikeluarkan.
Kelemahan pengawasan ini yang menyebabkan pencurian di Laut Natuna sebetulnya telah lama terjadi, bahkan mungkin sejak 20 atau 30-an tahun lalu. Kejadian pencurian yang dilaporkan mungkin jauh lebih sedikit jumlahnya daripada kejadian yang tidak dilaporkan.
Salah satu penyebabnya adalah karena belum pastinya kebijakan atau langkah apa yang harus dilakukan terhadap negara-negara tersebut apabila ditemukan mencuri selain menimbulkan kegaduhan politik luar negeri dengan negara-negara tetangga.
Apabila setiap pencurian oleh nelayan dari negara-negara tetangga ditegur dengan memberikan peringatan tetapi tanpa ditindaklanjuti dengan menerjunkan kapal-kapal pengawas yang proporsional, teguran itu hanya akan menjadi macan di atas kertas.
Lebih buruk lagi, negara-negara lain akan mengetahui bahwa Indonesia memang tidak memiliki kekuatan riil yang dapat menggetarkan pelaku pencurian di perairan tersebut. Hal ini justru semakin mendorong mereka untuk leluasa bergerak sesuai agenda masing-masing dan abai pada teguran Indonesia.