Kembali ke Saleh Mustafa, dalam perjalanan kariernya dia mengikuti pendidikan Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI pada kurun 2015-2016. Setelahnya dia dipercaya sebagai Pamen Ahli Kopassus Bidang Pendidikan dan Latihan (2016) dan selanjutnya dipromosikan di level teritorial sebagai Danrem 132/Tadulako (2016-2017).
Semasa bertugas sebagai orang nomor satu di Korem Tadulako ini dia mendapat tugas berat. Saleh Mustafa terlibat aktif dalam Satgas Tinombala untuk memburu kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso alias Abu Wardah.
Dia turut pula merancang Operasi Simpang Angin. Dikutip dari buku Kopassus untuk Indonesia: Profesionalisme Prajurit Kopassus, pasukan elite yang terlibat dalam Operasi Simpang Angin mulai menjelajahi Pegunungan Biru di ketinggian 1.000-2.000 meter di atas permukaan laut.
Perburuan terhadap kelompok radikal yang terafiliasi ke ISIS ini bahkan dilakukan hingga ke Lembah Bada, Kabupaten Sigi di pedalaman Sulawesi Tengah yang memiliki luas bentangan hingga 200 kilometer persegi. Sinergi TNI-Polri dalam Satgas Tinombala mencatat hasil signifikan.
Santoso terbunuh dalam baku tembak dengan pasukan Satgas Tinombala pada 18 Juli 2016. Salah satu orang kepercayaannya, Mukhtar, juga tewas ditembak.
Dari Tadulako, jenderal pemilik brevet kualifikasi Komando Kopassus dan Cakra Kostrad itu kembali ditarik ke Jakarta menjadi Wadanpussenif Kodiklatad (2017-2019), Kasdam Jaya, kemudian Kaskogabwilhan II (2021-2022). Panglima TNI kala itu, Jenderal TNI Andika Perkasa, selanjutnya mempromosikan sebagai Pangdam XVII Cenderawasih.
Tugas berat lagi-lagi tersemat di pundaknya. Di Papua, dia antara lain harus memikirkan operasi penumpasan kelompok kriminal bersenjata yang tak henti menebar teror. Tidak sampai setahun, dia ditarik sebagai pati yang duduk di belakang meja.