Upaya peremajaan tanaman kakao oleh Kabupaten Pinrang
Menyadari potensi besar yang dimiliki wilayahnya, pemerintah Kabupaten Pinrang juga tidak mau tinggal diam. Berbagai upaya telah dilakukan, guna membangkitkan kembali kejayaan kakao di kabupaten mereka.
Salah satu fokus utama mereka saat ini adalah peremajaan tanaman kakao. Sebagai langkah awal, mereka telah mencanangkan sejumlah program pendukung seperti penyediaan sarana dan prasarana untuk para petani kakao termasuk pemberian bibit kakao, pestisida nabati sebanyak 5 ribu liter, hingga pembangunan irigasi tanah bertenaga solar cell.
Bantuan tersebut diberikan kepada sekitar 1.025 ribu petani yang terbagi menjadi 75 kelompok. Program peremajaan terus didorong mengingat di tahun 1990-an, Pinrang sejatinya memiliki potensi lahan pertanian kakao sebanyak 18.900 hektare.
Sayangnya, potensi tersebut semakin menurun hingga tersisa 10.600 hektare yang mampu menghasilkan kakao berkualitas. Bila dirincikan, terjadi penurunan potensi mencapai 57% dari masa-masa awal kejayaan Kabupaten Pinrang.
"Dari potensi lahan itu, di tahun 2021, produktivitas kakao kami hanya menyentuh angka 9.000 ton. Ini menjadi PR (pekerjaan rumah) besar bagi kami untuk terus meningkatkan produktivitas melalui program peremajaan," ujar Ir. Jabbar Alu As'ad, ST. MSi selaku Kepala bidang perkebunan, dinas peternakan dan perkebunan Kabupaten Pinrang.
Ditambah lagi banyaknya keluhan petani terkait soal harga jual kakao. Sebagai informasi, saat ini kakao di Pinrang dijual dengan harga Rp28.000 - Rp30.000 per kilogram.
Meski mengikuti standar global, harga tersebut ternyata masih lebih rendah dibandingkan harga kakao di Kolaka, Sulawesi Tenggara. Harga kakao di sana menyentuh Rp42.000 per kilogram.
Persoalan harga ini sebetulnya dapat diselesaikan bila petani kakao Pinrang dapat meningkatkan kualitas dari produk mereka sendiri. Tentunya dibutuhkan program pelatihan dan edukasi yang komprehensif untuk mencapai tujuan tersebut.
"Harga kakao itu memang dilihat dari sejumlah faktor seperti kualitas kadar air, lalu ada yang namanya binkon yang jadi pengukur kualitas. Nah kalau standar di Indonesia sendiri yang berlaku adalah di dalam 100 gram itu terdapat 115 biji kakao. Ketika misalnya dia melewati standar tersebut itu baru ada klaim kualitas namanya. Kadar air pun begitu. Yang menjadi standar kita adalah 7-8 persen, jadi ketika petani jual di atas dari 8 persen nah itu akan mempengaruhi kualitas harga," ujar Umar Jamaluddin, Agronomist dari Barry Calebaut.
Kuncinya, lanjut Umar, para petani dari sekarang harus diedukasi bagaimana melakukan treatment pasca panen. Karena pada tahap inilah kualitas biji kakao ditentukan.
Untuk kadar air misalnya, dapat ditekan bila proses pengeringan atau penjemuran dilakukan dengan baik dan benar. Tidak boleh nanggung dan tidak boleh terlalu lama, karena dapat memicu timbulnya jamur.
"Dalam proses pengeringan itu terkadang masih ada petani yang tidak memisahkan antara biji dan plasenta. Itu juga jadi faktor penurunan harga, karena plasenta dapat merusak kualitas biji kakao, dan dihitung sebagai sampah. Jadi faktor-faktor itu yang perlu kita edukasi dalam proses pasca panen kepada petani," kata dia.