Ekonom Sebut Beda Data Kemiskinan RI Versi BPS dan Bank Dunia
Angka ini sangat berbeda dengan data resmi BPS yang hanya mencatat 8,57 persen atau 24,06 juta orang yang dikategorikan miskin.
Meskipun metodologi keduanya berbeda, disparitas sebesar delapan kali lipat ini menunjukkan adanya masalah dalam cara Indonesia mendefinisikan kemiskinan.
BPS telah hampir lima dekade menggunakan pendekatan pengukuran kemiskinan berbasis pengeluaran dengan item-item yang tidak banyak berubah dan dianggap tidak lagi sesuai dengan realitas ekonomi saat ini.
Media menilai, pengukuran data kemiskinan BPS yang tidak lagi relevan ini diperburuk oleh sistem pendataan yang mensyaratkan penerima bantuan sosial (bansos) harus terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
"Jika garis kemiskinan terlalu rendah, maka otomatis banyak masyarakat rentan yang tidak terjaring ke dalam kategori masyarakat miskin sesuai data DTKS dan akhirnya tidak menerima bantuan sosial apa pun," ujar Media.
Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa banyak masyarakat yang seharusnya layak menerima bantuan, justru tidak terjangkau program perlindungan sosial akibat definisi kemiskinan yang terlalu sempit.
"Penurunan angka kemiskinan yang hanya 0,1 persen poin juga mengindikasikan meskipun ada masyarakat yang keluar dari garis kemiskinan, jumlah orang yang kembali jatuh miskin atau menjadi miskin baru juga tinggi, sehingga penurunan bersih yang dihasilkan sangat kecil dan tidak mencerminkan kemajuan signifikan dalam perbaikan kesejahteraan," ujar Media.
Editor: Puti Aini Yasmin