Anies-Sandi Matangkan Program DP Rumah 0 Persen, Apa Pendapat BI?
Persoalannya di Jakarta, lanjut Agus, adalah masyarakat berpenghasilan 7 juta ke bawah hanya mampu membeli rumah maksimal dengan harga Rp240 juta. Sementara harga lahan dan biaya konstruksi di ibu kota sudah cukup mahal untuk membangun rumah tapak sehingga sulit membangun rumah MBR dengan harga maksimal Rp350 juta.
“Kalau mau diubah menjadi rusunami (rumah susun sederhana milik) itu ada satu masalah hukum yang diselesaikan oleh pemda. Kalau mau dijadikan untuk rusunami harus ada perubahan kepemilikan tanah gedung dan lain lain. Nah jadi hal ini yang kita diskusikan,” ucapnya.
Selain itu, Agus juga mengatakan bahwa syarat uang muka yang akan dibebankan kepada pembeli tidak bisa 0 persen atau Rp0 dari harga rumah. Tujuannya supaya calon debitur mempunyai komitmen untuk membayar cicilan tersebut.
"Kita menjelaskan sebetulnya program negara itu ada dan boleh DP itu hanya sampai satu persen," katanya.
Dia pun mendorong supaya pemerintah daerah menyeleraskan program perumahannya dengan pemerintah pusat. Di pusat, kata Agus, pemerintah memberikan subsidi uang muka atau subsidi bunga cicilan dalam skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang berasal dari APBN.
“Kalau seandainya pemda ingin memberikan pembiayaan kepada MBR itu perlu dibikin program pemda, itu nanti perlu dibuat perda (peraturan daerah). Kalau sudah masuk program pemda, kami tidak keberatan untuk LTV turun, dari 90 persen atau 85 persen ke yang lebih rendah,” tuturnya.
Pemprov DKI Jakarta belakangan mewacanakan rumah DP 0 persen hanya untuk masyarakat berpenghasilan antara Rp7-10 juta. Dengan ketentuan tersebut, langkah pemprov terganjal kecuali mengubah batas penghasilan MBR yang ada dalam Undang-Undang Tabungan Perumahan (Tapera).
Editor: Ranto Rajagukguk