Ketika Rakyat Menjerit, OJK Harus Berlari Lebih Cepat
OJK hebat dlam mengatur, tapi seperti mobil sport dengan ban kempes, yang pastinya tidk dpt melaju dengan maksimal. Dari beberapa kasu yang terlihat di media online dan media sosial, setidaknya ada lima kelemahan utama OJK.
Kelemahan pertama adalah lambatnya penanganan awal. Seperti yang dialami oleh Sarah yang harus menunggu dua bulan sebelum mendapt keringanan dengan hanya membayar pokok utangnya saja.
Begitu juga kita lihat pada kasus HZ. HZ harus menunggu motornya kembali sepekan setelah viral. Akhirnya HZ tidak bisa mencari nafkah. Bahakan bisa saja motornya benaran hilang kalau ternyata sempat dijual.
Kelemahan kedua adalah kurang meratanya edukasi ke pedasaan. Kampanye OJK memang oke di kota. Namuan wilayah pedesaan di prianga timur, 42% korban pinjol, yaitu guru honorer desan yang memiliki literasi rendah. Pada Agustus 2025, akun X @tiidurpagi membuat tweet "Guru honorer korban utama, OJK harus ke sekolah desa."
Kelemahan selanjutnya, OJK kessulita mengejar fintech ilegal lintas negara. Dari total kerugian publik yang mencapai Rp4,8 triliun pada 2025, sebagian besar pelaku justru beroperasi dari luar negeri.
Penindakan menjadi sulit dan rumit, karena server yang digunakan berpindah identitas disamarkan, dan pemblokiran hanya bersifat sementara.
Hingga kuartal pertama 2025 saja, ada 1.123 entitas ilegal yang tercatat. Seorang korban, pengguna X bernama @MichellaAd38560, menulis dengan nada getir “Email debt collector dari Gmail, aplikasinya muncul lagi setelah diblokir.”
Kelemahan keempat adalah besarnya ketergantungan kepada PUJK (Penyelenggara Usaha Jasa Keuangan) yang tidak selalu kooperatif.
Pada kasus HZ misalnya. Proses mediasi tersendat karena penagihan dilakukan oleh debt collector eksternal alias mata elang. OJK memang sudah menjatuhkan sanksi, tapi tanpa adanya dana jaminan mandiri, korban harus menunggu lama untuk mendapatkan kembali asetnya.
Dan yang terakhir adalah efek jera dari sanksi masih lemah. Denda jutaan rupiah tak membuat pelaku jera. Kasus di Depok menjadi contoh nyata.
Debt collector mata elang leasing HZ masih beroperasi meski sebelumnya telah disanksi, sebelum akhirnya ditangkap aparat. Penurunan angka pengaduan sebesar 15% sepanjang 2024–2025 patut diapresiasi. Namun OJK prlu membuat sanksi lebih menggigit, seperti pencabutan izin permanen untuk pelaku berulang.