Aturan Masih Tumpang Tindih, Jangan Sampai Keringanan Pajak Disalahgunakan
"Di sisi lain, Undang-Undang Perpajakan yang mengatur obyek yang sama belum dicabut. Kerancuan dan tumpang tindih seperti ini akan berpotensi menciptakan kebingungan bagi petugas pajak dan wajib pajak dalam menjalankan tugas dan kewajibannya," kata Edi.
Dia menekankan pemerintah juga harus pengawasan kepada wajib pajak badan yang telah diberikan insentif. "Jangan sampai wajib pajak yang telah diberikan insentif justru memanfaatkan kemudahan ini untuk mengeruk keuntungan lebih banyak sehingga masyarakat dan negara dirugikan," ujarnya.
Sebagai contoh yang paling aktual, perusahaan importir alat kesehatan terkait penanganan Covid-19 yang telah diberikan insentif berupa pembebasan pajak kepabeanan dan PPN seharusnya harus menurunkan harga jual kepada masyarakat atau pemerintah yang membutuhkan barang-barang dimaksud.
Tapi, dalam kenyataannya, kata dia, beberapa perusahaan yang telah mendapat keringanan insentif pajak tetap tidak mau menurunkan harga jualnya. Untuk menciptakan rasa keadilan masyarakat seharusnya pemerintah menertibkan praktik tidak sehat seperti ini.
"Jangan sampai keringanan pajak ternyata disalahgunakan dan hanya menguntungkan kelompok tertentu," kata pria yang menjabat sebagai Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta ini.
Kesimpulannya, terang Edi, dalam mencapai tujuan luhur, yaitu pajak sebagai implementasi nilai-nilai Pancasila yang mendesak harus dibenahi adalah regulasi pajak, pemerintah bersama DPR harus membuat dan menciptakan regulasi perpajakan dan tata kelola pajak yang transparan dan berkeadilan, serta memberikan iklim yang kondusif agar tercipta kepatuhan wajib pajak yang penuh kesadaran dan keikhlasan.
"Ini menjadi PR besar bagi kita semua agar tujuan dasar pajak sebagai implementasi nilai-nilai luhur Pancasila dapat dapat diwujudkan dengan semangat kegotongroyongan yang merupakan genetika dari bangsa kita," ujar Edi.
Editor: Dani M Dahwilani