Anemia Asia Tenggara dan Afrika Tinggi, Pakar Kesehatan Dunia Lakukan Penelitian
JAKARTA, iNews.id - Saat ini, sekitar 2,3 miliar orang menderita anemia. Satu dari dua penderita mengidap anemia karena defisiensi zat besi (IDA) dan mengalami gejala seperti sering kelelahan, pusing, pucat, dan gangguan kekebalan tubuh. Bahkan, penyakit ini dapat memengaruhi kualitas hidup dan produktivitas.
Asia Tenggara dan Afrika memiliki tingkat prevalensi anemia tertinggi yang mewakili 85 persen dari kasus yang dilaporkan secara global. Dengan kondisi tersebut, membuat pakar dunia melakukan penelitian ilmiah untuk menemukan metode efektif untuk menangani anemia.
Aalok Agrawal selaku Senior Vice President, P&G Health - Asia Pacific, Middle East and Africa mengatakan, Anemia menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia dengan tingkat prevalensi tertinggi di Asia Tenggara dan Afrika.
Menurutnya, Anemia adalah risiko kesehatan yang sangat memengaruhi kelompok masyarakat paling rentan yaitu perempuan dan anak-anak.
"Melalui P&G Blood Health Forum, kami menyambut para pakar terkemuka bidang anemia, fisiologi zat besi, dan kesehatan gizi untuk bertukar wawasan dan bekerja sama dalam mengatasi permasalahan kesehatan anemia secara global," kata Aalok Agrawal, melalui keterangannya belum lama ini.
Dia menambahkan, dengan menyediakan platform untuk pertukaran berbagai penelitian ilmiah dan wawasan klinis, pihaknya berharap dapat meningkatkan pengetahuan mengenai pendekatan dan metode efektif untuk menangani anemia.
Prof. Dr. Zulfiqar A. Bhutta, Robert Harding Inaugural Chair in Global Child Health, Hospital for Sick Children and Co-Director of the SickKids Centre for Global Child Health (Kanada) mengatakan, terdapat cukup bukti mengenai beban yang ditimbulkan dan epidemiologi mengenai anemia, serta defisiensi zat besi pada anak-anak maupun wanita usia subur di berbagai belahan dunia.
"Penanganan secara strategis masih sangat lambat dan berdampak dengan hilangnya sumber daya manusia secara signifikan. Tantangan ini diperparah dengan pandemi Covid-19 dan berbagai konsekuensi ekonomi yang terjadi. Deteksi dini anemia secara menyeluruh dan penanganan yang tepat harus menjadi prioritas global," kata Prof. Dr. Zulfiqar A. Bhutta.
Prof. Bhutta menambahkan, potensi penuh dari beberapa tujuan pembangunan berkelanjutan terkait nutrisi, kesehatan dan pembelajaran (SDGs 2, 3 dan 4) tidak dapat direalisasikan tanpa penanganan anemia akibat defisiensi zat besi dalam skala besar. Terutama di populasi yang terpinggirkan dan sangat miskin di dunia.
Sebagai bagian dari inisiatif ini, P&G Health juga mengumumkan kemitraan strategis dengan Asia & Oceania Federation of Obstetrics & Gynecology (AOFOG) yang akan bekerja sama menghasilkan berbagai inisiatif bagi kesehatan masyarakat. Ini mencakup serangkaian sesi virtual ‘Blood Health Forum' dalam berbagai topik yang dirancang untuk mengedukasi, meningkatkan kesadaran, dan pada akhirnya dapat memberikan rekomendasi terbaik bagi pasien untuk memastikan managemen/penanganan yang lebih baik.
P&G Blood Health Forum dihadiri oleh lebih dari 2.500 peserta dari seluruh sektor layanan kesehatan Asia termasuk 600 dari Indonesia. Peserta yang terlibat dalam forum ini adalah spesialis terapeutik seperti dokter kandungan dan ginekolog, dokter spesialis anak, dokter umum, dan ahli hematologi.
Sementara itu, Dr. Murti Andriastuti, Sp.A (K) mengatakan, Anemia akibat defisiensi zat besi adalah salah satu dari masalah kesehatan utama di dunia. P&G Blood Health Forum merupakan platform yang sangat baik menghubungkan para tenaga kesehatan di seluruh Asia dengan para ahli internasional terkemuka.
"Tujuannya untuk membahas penanganan terbaik bagi anemia yang disebabkan oleh defisiensi zat besi, di mana hal tersebut sangat penting untuk menciptakan masa depan anak lebih baik," kata dia.
Editor: Vien Dimyati