Bangladesh Bangun Pagar Kawat Berduri dan Pasang CCTV di Sekitar Kamp Rohingya
DHAKA, iNews.id - Bangladesh mulai membangun pagar kawat berduri di sekitar kamp-kamp pengungsi Rohingya. Hal itu untuk mencegah perdagangan ilegal pengungsi.
"Langkah-langkah lain, termasuk pemasangan menara pengawal dan kamera CCTV juga mulai efektif untuk memperkuat pengawasan terhadap warga Rohingya dan kamp-kamp pengungsi," kata Menteri Dalam Negeri Bangladesh, Asaduzzaman Khan Kamal, seperti dilaporkan Anadolu, Senin (17/2/2020).
Dalam beberapa bulan terakhir, risiko perdagangan warga Rohingya ke Malaysia meningkat secara signifikan melalui Teluk Benggala.
"Pengawasan di kamp tetap sesuai kebutuhan dan inisiatif telah diambil sesuai dengan instruksi dari Perdana Menteri Sheikh Hasina," ujar Kamal.
Para pengungsi dan kelompok hak asasi Rohingya mendesak pemerintah tidak membangun pagar kawat berduri di sekitar kamp dengan alasan pelanggaran hak-hak pengungsi.
"Kami memahami bahwa Bangladesh memiliki kepedulian terhadap keamanan nasionalnya, tetapi kami bukan ekstremis yang harus terus diawasi. Kami adalah korban genosida dan berlindung untuk menyelamatkan hidup kami," kata Myo Thant, seorang pengungsi di kamp Cox's Bazar, kepada Anadolu Agency.
Dia menyebut, menempatkan pagar kawat dapat menyebabkan gangguan psikologis dan mental, dan itu lebih mirip dengan kamp konsentrasi daripada menjaga keamanan kamp.
Nay San Lwin, salah satu pendiri Koalisi Rohingya Merdeka, mengatakan kepada Anadolu bahwa memagari kamp akan merusak rasa kemanusiaan yang ditunjukkan Bangladesh dan mengubah wilayah itu menjadi kamp konsentrasi dengan kabel berduri, menara pengawas, dan CCTV.
"Penghuni kamp ini berada di penjara terbuka Myanmar selama beberapa dekade. Sekarang mereka lagi-lagi menghadapi penolakan yang sama terhadap kebebasan mutlak di Bangladesh, tempat perlindungan mereka," ungkap dia.
San Lwin juga meminta pemerintah membatalkan rencana tersebut.
Pada 11 Februari, setidaknya 15 jasad pengungsi Rohingya ditemukan, 65 diselamatkan dan lebih dari 40 masih hilang setelah kapal pukat tenggelam di Teluk Benggala, dekat pulau St. Martin, ketika mencoba menyebrang ke Malaysia secara ilegal.
Mengenai kecenderungan pindah secara ilegal ke negara lain menggunakan perbatasan laut Bangladesh, Lwin mengatakan bahwa tidak seperti Myanmar, Bangladesh memiliki aturan hukum, di mana penjahat harus dibawa ke pengadilan.
"LSM dan para pemimpin Rohingya di kamp-kamp harus mendidik para pengungsi tidak menaiki kapal yang berisiko ke Malaysia. Dan, seluruh komunitas seharusnya tidak dihukum atas kejahatan yang dilakukan oleh beberapa orang saja,” kata dia.
Sebelumnya, The Human Rights Watch menyatakan rencana kawat berduri dan menara penjaga di sekitar kamp-kamp pengungsi Rohingya di Cox's Bazar melanggar hak kebebasan bergerak pengungsi.
Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai kelompok yang paling teraniaya di dunia, menghadapi ketakutan yang terus meningkat sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada 2012.
Menurut Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA), sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 24.000 Muslim Rohingya dibunuh oleh tentara Myanmar.
Lebih dari 34.000 orang Rohingya juga dibakar, sementara lebih dari 114.000 lainnya dipukuli, menurut laporan OIDA yang berjudul 'Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang Tak Terkira'.
Sekitar 18.000 perempuan Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar dan lebih dari 115.000 rumah Rohingya dibakar sementara 113.000 lainnya dirusak.
Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi, sebagian besar anak-anak dan perempuan, melarikan diri dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan kekerasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.
PBB mendokumentasikan pemerkosaan massal, pembunuhan -termasuk bayi dan anak kecil- pemukulan brutal, dan penculikan yang dilakukan oleh personil keamanan.
Dalam laporannya, penyelidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Editor: Nathania Riris Michico